Variabilitas dalam Antarbahasa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Istilah
antarbahasa atau interlanguage memiliki arti yakni pembelajar membangun
suatu sistem bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa pertama mereka.
Sistem tersebut disebut “interlanguage” oleh Larry Selinker, seorang profesor
dalam bidang linguistik berkebangsaan Amerika. Artikelnya yang berjudul
“Interlanguage” muncul pada Januari 1972 dalam jurnal International Review of
Applied Linguistics in Language Teaching. Ia mengemukakan teori interlanguage berdasarkan teori bahwa setiap
manusia memiliki ‘struktur psikologi yang terpendam atau tersembunyi yang ada
dalam otak’ yang akan aktif ketika manusia mempelajari bahasa kedua. Ia juga
berpendapat bahwa pada situasi tertentu ucapan-ucapan yang dihasilkan oleh
pembelajar berbeda dari native speaker walaupun sebenarnya memiliki
maksud yang sama. Perbandingan ini menghasilkan sistem linguistik tersendiri
bagi pembelajar.
Walaupun
menurut perspektif interlanguage melihat bahasa pembelajar sebagai bahasa
tersendiri, namun bahasa ini secara sistematis jauh berbeda dan beragam dari
bahasa yang digunakan native speaker.
Teori tentang variasi dalam interlanguage memerankan peran penting dalam
penelitian pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition (SLA).
Banyak peneliti berusaha untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa muncul
beberapa variasi yang diperlihatkan para pembelajar dalam perkembangan antar
bahasa mereka. Variasi tersebut terkadang terlihat dalam parameter
norma-norma yang bisa diterima, dan terkadang tidak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana batasan Antarbahasa ?
2. Apa saja masalah variabilitas ?
3. Bagaimana variabilitas dalam Antarbahasa ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui batasan Antarbahasa.
2. Untuk mengetahui masalah variabilitas.
3.
Untuk mengetahui variabilitas dalam Antarbahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Batasan
Antarbahasa
Istilah antarbahasa atau interlanguage yang diciptakan oleh selinker pada
tahun 1972 mengacu kepada pengetahuan sistematik mengenai b2 yang berdikari dan
bebas dari b1 pembelajar maupun bahasa sasaran. Baik corder (1978) maupun
selinker (1974) memberi ciri kepada antarbahasa atau interlanguage sebagai sesuatu yang bersamaan dengan apa yang
dipakai atau dituturkan oleh para pembelajar bahasa lainnya, tetapi ternyata
berbeda dari norma-norma bahasa sasaran (target
language).
Corder (1978) menyetujui bahwa
memang bermanfaat memikirkan serta
memperlakukan bahasa pembelajar bahasa sebagai suatu kontinum, tetapi dia
menyarankan bahwa mungkin ada berbagai macam tipe kontinum yang mempunyai nilai
eksplanatori yang potensial. Kontinum yang didiskusikan oleh selinker yaitu
orang melihat para pembelajar terlibat dalam suatu proses yang konstan dan
progresif bagi penyesuaian sistem bahasa asli kepada sistem bahasa sasaran yang
lebih erat. Pandangan antarbahasa yang seperti itu dapat disebut sebagai penstrukturan
kembali yang progresif, dan kontinum implikasinya dapat disebut sebagai
kontinum yang distrukturkan kembali. Akan tetapi, tidak semua pembelajar
memperlihatkan fakta-fakta transfer, dan tentu saja tidak pada taraf yang sama.
Corder percaya bahwa karena hal ini benar, dan karena antarbahasa justru secara
khas lebih sederhana daripada tuturan asli orang dewasa di dalam bahasa yang
diperoleh itu, maka seseorang dapat mengkonseptualisasikan suatu tipe kontinum
yang kedua, yang disebut kontinum rekreasional atau kontinum perkembagan.
Sudut pandang yang ketiga akan
mengemukakan serta mempertahankan bahwa pembelajaran bahasa melibatkan baik
proses penstrukturan kembali maupun proses perkembangan. Posisi yang terakhir
ini mengizinkan sejumlah variabilitas yang digunakan oleh berbagai individu
untuk mengembangkan antarbahasa. Bagaimanapun juga, cukup jelas, bahwa orang
dewasa atau para pembelajar bahasa yang telah dewasa telah menyediakan baginya
seperangkat hipotesis yang relatif kaya dan khusus mengenai bagaimana caranya
bahasa dipelajari, yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari pengetahuan
mereka mengenai bahasa ibu mereka. Apakah mereka mengetahui atau tidak
bagaimana memanfaatkan informasi ini untuk mempelajari suatu B2 tergantung dari
beberapa variabilitas dalam perkembangan antarbahasa (Omaggio, 1986 : 274-5).
B. Masalah
Variabilitas
Salah satu dari prinsip-prinsip
utama teori antarbahasa ialah bahwa bahasa pembelajar bahasa sistematis. Pada
setiap tahap dalam perkembangannya, para pembelajar beroperasi sesuai dengan
sistem kaidah-kaidah yang telah dibangunnya untuk hal itu. Lalu, yang menjadi
masalah penting, adalah mengapa performansinya begitu bervariasi. Pada suatu saat dia menggunakan satu kaidah,
pada saat yang lain dia menggunakan kaidah yang berbeda. Oleh karena itu,
setiap tahap perkembangan ditandai bukan oleh suatu sistem kaidah-kaidah
kategorik yang diterapkan tanpa kecuali, tetapi oleh suatu sistem kaidah-kaidah
alternatif. Justru karena alasan inilah maka urutan alamiah perkembangan itu begitu
kabur dan tidak jelas keadaanya. Bukan hanya tahap-tahap itu bertumpang tindih,
tetapi juga jumlah tumpang tindih itu bervariasi pula (hatch 1974).
Penjelasan satu-satunya bagi fenomena ini yang disajikan oleh teori antarbahasa terdahulu justru “mundur,
kembali mengerjakan kebiasaan lama yang tercela”. Akan tetapi, variabilitas
tidak hanya muncul kalau “fosilisasi” telah terjadi; hal itu sudah umum pada seluruh kontinum antarbahasa. Teori
antarbahasa tidaklah dapat menanggulangi variabilitas pembelajar secara mudah,
tetapi justru berjuang mati-matian menjelaskan mengapa dan bagaimana
variabilitas itu terjadi atau berlangsung. Akan tetapi, teori itu telah
berupaya mencoba mempertanggungjawabkan variabilitas kontekstual. Jalur alamiah
perkembangan juga mengabaikan tipe variabilitas lainnya yang diturunkan dari
perbedaan-perbedaan individual pembelajar. Pustaka studi-kasus mengemukakan
bahwa memang terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam cara para pembelajar
berorientasi kepada tugas pembelajaran (ellis, 1987 :70-2).
C. Variabilitas
dalam Antarbahasa
Para
pemakai bahasa, termasuk para pembelajar bahasa, berbeda-beda dalam penggunaan
yang mereka buat, dalam pemanfaatan pengetahuan linguistik mereka. Dengan kata
lain, terdapat variabilitas dalam antarbahasa mereka.
Bila
ditinjau dari segi kesistematisannya maka variabilitas dalam antarbahasa dapat
dibedakan atas :
a.
Variabilitas sistematis (systematic variability), yaitu dua atau lebih bentuk linguistik
berfungsi sebagai varian, yang digunakan secara prakiraan sesuai dengan
konteksnya.
b.
Variabilitas yang tidak sistematik (unsystematic variability), yaitu
variabilitas yang serampangan atau semberono.
1.
Variabilitas
Bersistem
Status variabilitas dalam penggunaan bahasa
penutur asli dipandang oleh para linguis dengan berbagai cara yang sangat
berbeda-beda, tergantung dari cara mereka
mengadakan pendekatan, apakah dengan mempergunakan :
a.
Model
kompetensi homogen
b.
Model
kompetensi heterogen
Dalam model kompetensi homogen, semua variabilitas
diklasifikasikan sebagai variabilitas tidak bersistem atau tidak sistematis. Di
sini, pemakai bahasa diberi kredit dengan suatu sistem kaidah-kaidah
(“kompetensi”-nya) yang bersifat homogen atau serba-sama. Ini mendasari semua
upayanya pada performansi, dan kenyataan bahwa dia tidak selalu
memanifestasikan sistem yang ideal dalam caranya berbicara atau menulis justru
ditolak sebagai yang tidak relevan bagi pemahaman sistem ideal (chomsky 1965).
Dalam model kompetensi, pengetahuan linguistik justru dipisahkan dari pengetahuan
non-linguistik, sekalipun hal ini dapat dihadirkan kembali bila pengetahuan
linguistik akan digunakan. Jadi, sekalipun pengetahuan linguistik (yang
belakangan ini disebut oleh chomsky sebagai “pengetahuan pragmatik” itu
sistematis atau bersistem, namun hal itu tidak perlu diperhatikan benar-benar
pada saat menjelaskan kompetensi linguistik. Model kompetensi homogen justru
mengabaikan atau melalaikan variabilitas stilistika, atau hanya
memperlakukannya sebagai suatu aspek performansi saja. Akan tetapi, dalam model
kompetensi heterogen, variabilitas stilistika ini dipandang sebagai bagian
integral kompetensi, bukan performansi.
Salah seorang ahli yang beroprasi di dalam model
kompetensi heterogen adalah labov (1970) yang mendaftarkan lima aksioma
mengenai cara menelaah pemakaian bahasa. Rangkumannya adalah sebagai berikut
ini :
1. Semua
penutur atau pembicara mempunyai beberapa gaya atau style. Mereka mengadaptasikan tuturan mereka untuk membuatnya cocok
dan serasi dengan konteks sosial.
2. “Gaya
dapat disusun dan dijajarkan sepanjang dimensi tunggal, diukur dengan jumlah
perhatian yang diberikan kepada tuturan”. Seorang pemakai bahasa berbeda-beda
dalam tingkat kemampuannya memantau tuturan atau ujarannya dalam berbagai
situasi.
3. “Bahasa
daerah” (vernacular) adalah gaya yang
memperoleh perhatian minim dalam pemantauan ujaran. Justru gaya inilah yang ada
kaitannya dengan tuturan sehari-hari yang informal. Ini merupakan “data yang
paling sistematis” bagi telaah linguistik.
4. Merupakan
hal itu tidak mungkin menyadap (mengeruk) gaya daerah seseorang pemakai dengan
observasi sistematik mengenai bagaimana dia tampil atau berformansi dalam
konteks formal (seperti suatu eksperimen).
5. Satu-satunya
memperoleh data yang baik mengenai tuturan seorang pemakai bahasa adalah
melalui observasi yang sistematis (systematic
observation).
Konflik antara aksioma keempat dan aksioma kelima membimbing kita ke arah
apa yang disebut oleh labov sebagai “paradoks peneliti” atau observer’s paradox. Memang data yang
unggul menuntut observasi bersistem, tetapi hal ini mencegah atau menghalangi
jalan masuk bagi gaya bahasa daerah seorang pemakai, yang karena merupakan gaya
yang paling bersistem, merupakan tujuan
utama penelitian linguistik.
Sebuah contoh bagaimana cara suatu model
sosiolinguistik menggarap variabilitas yang disebabkan oleh faktor-faktor
situasional, marilah kita perhatikan salah satu dari telaah-telaah labov. Pada
tahun 1970 labov pernah meneliti pola ujaran atau tuturan orang new york. Dia
mengumpulkan data dengan berbagai cara agar dapat menyusun suatu jajaran gaya
tuturan. Semua itu diklasifikasikannya sebagai berikut :
a. Casual speech (tuturan sambil lalu)
b. Careful speech (tuturan cermak)
c. Reading (bacaan)
d. Wordlists (daftar kata)
e. Minimal pairs (pasangan terkecil)
Gaya-gaya tersebut sepanjang suatu kontinum sesuai dengan jumlah
perhatian yang diberikan oleh para penutur terhadap tuturannya sendiri.
Demikianlah pada (a) sangat sedikit perhatian diberikan, sedangkan pada (e)
terjadi pemantauan cermat. Labov meneliti frekuensi-frekuensi berciri sosial
tertentu sebaik terjadi pada setiap gaya tuturan. Dengan penelitian itu labov
ingin membuktikan bahwa perilaku berbahasa dapat diramalkan atau diprakirakan.
Perubahan atau pertukaran gaya berjalan secara sistematis.
selanjutnya, variabilitas sistematis itu pun dapat
pula dibedakan atas :
1. Variabilitas individual, yaitu merupakan
produk dari faktor-faktor pembelajar secara perseorangan, dan
2.
Variabilitas
kontekstual, yaitu merupakan produk dari faktor-faktor hubungan sosial.
Dan lebih jauh lagi, variabilitas
kontekstual ini dapat pula dibedakan atas (yang
Ditentukan oleh) :
a. Konteks
linguistik, dan
b. Konteks
situasional.
Variabilitas yang
merupakan hasil atau akibat konteks situasional beranalogi dengan variabilitas stilistik yang dapat
diamati dalam pemakaian kata-kata penutur asli.
Variabilitas yang merupakan hasil atau akibat konteks
linguistik terjadi apabila dua konteks linguistik yang berbeda menyebabkan atau
menghasilkan bentuk-bentuk yang berbeda walaupun dalam bahasa sasaran mereka menuntut bentuk yang sama. Sebagai
contoh, para pembelajar dapat menghasilkan contoh yang benar dalam pemakaian –s untuk orang ketiga tunggal (dalam
bahasa inggris) kalau konteks linguistiknya terdiri dari suatu ucapan klausa
tunggal, seperti dalam :
Mr. Guntur tarigan lives
in bandung
Tetapi gagal berbuat demikian kalau konteks linguistiknya
terdiri dari klausa subordinatif seperti dalam :
mr.
Guntur tarigan who *live in bandung
maried my sister.
2.
Variabilitas
Tidak Bersistem
Pemakaian bahasa penutur asli juga ditandai
oleh variabilitas yang non-sistematis, yang tidak bersistem. Seperti telah
disinggung sebelumnya, variabilitas ini pun terdiri atas dua tipe. Yang pertama
adalah variabilitas performansi yang
bukan merupakan bagian kompetensi pemakai. Variabilitas ini terjadi apabila
pemakai bahasa tidak mampu melakukan kompetensinya. Dan yang kedua adalah variabilitas bebas, yang lebih
bermanfaat bagi pemahaman pb2.
Tampaknya tidak sulit menemukan contoh-contoh variasi
bebas, walaupun contoh-contoh tersebut mungkin bersifat idiosinkratik. Ada
orang indonesia yang kadang-kadang mengucapkan kata “memegang” sebagai memegang
dan kadang-kadang sebagai memegang; begitu juga :
Menerangkan dan
menerangken
Enam anam/anem
Mantap mantep
Tahu tau
Mengesampingkan mengenyampingkan
Ubah obah
Pada
umumnya, variabilitas non-sistematis ini tidak memperoleh banyak perhatian dari
para linguis, yang lebih senang meneliti variabilitas sistematis. Walaupun
begitu, tidak dapat dihindari bahwa proses pemanfaatan suatu bentuk dalam
variasi bebas merupakan ciri pokok perkembangan antarbahasa.
Variasi bebas merupakan sumber utama
ketidakstabilan di dalam antarbahasa, karena para pembelajar akan mencoba
meningkatkan keefisienan sistem antarbahasanya dengan mengembangkan
hubungan-hubungan “bentuk-fungsi” yang jelas. Sebenarnya tidak efesien
mengoperasikan suatu sistem yang berisikan dua bentuk yang mempunyai identitas
fungsi yang sama secara total. Kehadiran dua bentuk dalam variasi bebas justru
bertentangan dengan prinsip ekonomi organisasi linguistik. Prinsip ini
menyatakan bahwa secara ideal suatu sistem linguistik akan berisi ciri-ciri
pembeda yang cukup dan tidak lebih daripada yang dibutuhkan untuk menampilkan
fungsi-fungsi apa saja yang ingin dikomunikasikan oleh seorang pemakai.
Walaupun prinsip ekonomi tidak menentukan apa yang masuk ke dalam antarbahasa,
kenyataannya dia turut menentukan apa yang layak ikut berperan sekali waktu di
dalamnya.
Demikianlah,
pembicaraan mengenai variabilitas dalam antarbahasa dapat kita rangkumkan dalam
gambar berikut ini :
Variabilitas
Performansi
Gambar 2.1. Ragam tipe
variabilitas dalam bahasa pembelajar-bahasa (ellis, 1987: 76)
Pemakai bahasa ditandai oleh variasi
sistematis dan variasi non sistematis. Variasi sitematis dapat dijelaskan
dengan mengacu kepada faktor-faktor situasional dan linguistik, yang menentukan
varian mana yang dipakai “di mana, bagaimana, dan mengapa”. Pemakai bahasa
dapat diberi kredit dengan suatu kompetensi yang terdiri atas suatu kontinum
idiolek-idiolek, seperti yang paling jelas terlihat dalam kontinum kreol (creole continuum). Kontinum ini terdiri
dari varietas-varietas atau berbagai macam “lek” (lects) yang berbeda-beda atau beraneka ragam di dalam tingkat
kerumitannya dan oleh karena itu, dapat disusun secara hierarki atau secara
berjenjang. Salah satu tipe variasi yang non sistematis adalah variasi bebas.
Bentuk-bentuk linguistik yang pada awalnya dipakai dalam variasi bebas,
kemudian dapat dipakai secara sistematis untuk menyatakan makna-makna yang
berbeda (ellis, 1987: 81).
Berbicara
mengenai “gaya” seperti tertera pada aksioma labov yang telah dibahas
sebelumnya, maka ada baiknya pula kita menyinggung tarone (1983) yang telah
mengemukakan “efek-efek konteks situasional sebagai suatu kontinum aneka gaya
antarbahasa”, seperti yang terlihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.2 kontinum
antarbahasa (tarone 1983: 152; ellis 2987: 83)
Pada ujung kiri kontinum itu terdapat gaya (bahasa) daerah atau vernacular style, yang muncul apabila
seorang pembelajar tidak memperhatikan atau merawat tuturannya. Ini merupakan
gaya yang paling alamiah dan paling sistematis. Pada ujung kanan kontinum itu
terdapat gaya cermat atau careful style yang
merupakan fakta yang paling jelas dalam tugas yang menuntut para pembelajar
membuat keputusan gramatikal misalnya mengatakan apakah suatu kalimat benar
atau tidak benar. Gaya cermat ini muncul apabila para pembelajar sangat
memperhatikan atau merawat tuturannya. Demikianlah, kontinum stilistika
merupakan produk tingkat-tingkat pembedaan perhatian yang tercermin dalam
berbagai tugas performansi. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa tarone memandang
kontinum stilistika sebagai kompetensi, bukan sebagai performansi.
Efek konteks linguistik dan
efek konteks situasional berinteraksi untuk mempengaruhi bersama-sama
penggunaan bentuk-bentuk antarbahasa seorang pembelajar. Kalau konteks
linguistik dilihat sebagai suatu kontinum yang berjenjang dari “sederhana”
(misalnya ucapan-ucapan klausa tunggal bagi orang ketiga tunggal ‘-s’),
dan kalau konteks-konteks situasional
juga dipandang sebagai suatu kontinum.
Dan
akan menjadi kurang sering apabila konteks linguistiknya “kompleks” dan gayanya
vernacular (yaitu b). Apakah a (yang
konteks linguistiknya kompleks” tetapi gayanya “kasual” atau ‘cermat”)
cenderung ke arah keteraturan atau kereguleran pemakaian yang lebih besar tidak
dapat ditentukan dengan pasti (ellis 1987: 84).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Sejumlah variabilitas digunakan
oleh berbagai individu untuk mengembangkan antarbahasa. Cukup jelas, bahwa
orang dewasa atau para pembelajar bahasa yang telah dewasa telah menyediakan
baginya seperangkat hipotesis yang relatif kaya dan khusus mengenai bagaimana
caranya bahasa dipelajari, yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari
pengetahuan mereka mengenai bahasa ibu mereka. Apakah mereka mengetahui atau
tidak bagaimana memanfaatkan informasi ini untuk mempelajari suatu B2
tergantung dari beberapa variabilitas dalam perkembangan antarbahasa.
Variabilitas
tidak hanya muncul kalau “fosilisasi” telah terjadi. Teori antarbahasa tidaklah
dapat menanggulangi variabilitas pembelajar secara mudah, tetapi justru
berjuang mati-matian menjelaskan mengapa dan bagaimana variabilitas itu terjadi
atau berlangsung. Para pemakai bahasa, termasuk para pembelajar bahasa,
berbeda-beda dalam penggunaan yang mereka buat, dalam pemanfaatan pengetahuan
linguistik mereka. Dengan kata lain, terdapat variabilitas dalam antarbahasa
mereka.
Bila ditinjau dari segi kesistematisannya maka variabilitas dalam antarbahasa
dapat dibedakan atas (1) Variabilitas sistematis (systematic variability dan (2) Variabilitas yang tidak sistematik (unsystematic variability). Selanjutnya Variabilitas sistematis itu pun dapat
pula dibedakan atas (1) Variabilitas
individual dan (2) Variabilitas
kontekstual. Dan lebih jauh lagi, Variabilitas
kontekstual ini dapat pula dibedakan atas (yang ditentukan oleh) : (a) Konteks
linguistik, dan (b) Konteks situasional. Sedangkan Variabilitas yang tidak sistematik dapat dibedakan atas (1) Variabilitas bebas dan (2) Variabilitas performansi.
Comments
Post a Comment