Pengaruh Lintas Linguistik dan Bahasa Pembelajar
PENGARUH LINTAS LINGUISTIK DAN BAHASA
PEMBELAJAR
Hingga saat ini dalam pembahasan
prinsip-prinsip pemerolehan bahasa kedua, fokus kita adalah prinsip psikologis
(pembelajaran, kognisi, strategi, emosi) dan sosial (budata, sosiolinguistik,
pragmatika) pemerolehan bahasa kedua. Variabel-variabel langsung saja
psikososial membentuk fondasi bagi pembangunan sebuah pemahaman komprehensif
tentang pemerolehan sistem linguistik. Dalam bab ini kita akan berbelok untuk
mulai menelaah komponen paling menonjol pemerolehan bahasa kedua: bahasa itu
sendiri.
HIPOTESIS ANALISIS KONTRASIF
Pada pertengahan abad ke 20, salah satu upaya
paling popular bagi para linguis terapan adalah studi dua bahasa yang di
konstraskan. Pada akhirnya tumpukan data komparatif dan kontrastif tentang
banyak sekali pasangan bahasa menghasilkan apa yang lazim disebut Hipotesis Analisis Kontrastif atau contrastive analysis hyphotesis (CAH). Mengakar kokoh dalam
pedekatan-pendekatan behavioristik dan strukturalis masa itu , CAH menyatakan
bahwa hambatan utama memperoleh bahasa kedua adalah interferensi sistem bahasa
pertama dan sistem bahasa kedua.
Pada saat itu dianggap
bahwa perangkat-perangkat linguistic structural, seperti tata bahasa pengisi
Slot Frier (1952), akan memungkinkan seorang linguis memaparkan secara akurat
dua bahasa yang diamati, dan mencocokkan kedua paparan itu untuk menentukan
kontras, atau perbedaan-perbedaan, yang valid diantara keduanya. Behaviorisme
menyumbangkan gagasan bahwa perilaku manusia adalah gabungan dari bagian-bagian terkecil dan komponennya,
dan karena itu pembelajaran bahasa teori-teori pembelajaran bahasa bisa di
deskripsikam sebagai pemerolehan dari semua unit terpisah itu. Kesimpulan logis
dari berbagai asumsi psikologis dan linguistic ini adalah bahwa pembelajaran
bahasa kedua pada dasarnya melibatkan upaya mengatasi perbedaan-perbedaan
antara kedua sistem linguistic itu
bahasa asli dan bahasa sasaran.
Secara intuitif CAH mempunyai daya tarik
dalam apa yang lazim kita amati dalam diri para pembelajar bahasa kedua adanya
banyak sekali kesalahan yang bisa dihubungkan dengan transfer negatif bahasa asal ke bahasa sasaran. Sangat lazim,
misalnya, mendeteksi akses lain tertentu dan bisa menyimpulkan, dari
pembicaraan pembelajar saja, dari mana dia berasal. Beberapa klaim yang akan
kuat dikemukakan mengenai CAH oleh para ahli pengajaran bahasa dan linguis,
salah satu yang paling kuat dikemukakan oleh Robert Lado (1957, h. vii) dalam
prakata untuk Linguistics As]cross Cultures : “ Rencana buku ini bersandar pada
asumsi bahwa kita bisa memprediksi dan memprediksikan pola-pola yang akan
menimbulkan kesalahan dalam pembelajaran, dan pola-pola yang tidak akan
menimbulkan kesulitan , dengan membandingkan secara sistematis bahasa dan
budaya yang harus dipelajari dengan bahasa dan budaya asal murid . “ Maka,
dalam bab pertama buku itu, Lado melanjutkan, “dalam perbandingan antara bahasa
asli dan bahasa asing terdapat kunci bagi kemudahan atau kesulitan dalam
pembelajaran bahasa asing ……….. unsure-unsur yang mirip dengan bahasa asal
(pembelajar) akan mudah baginya dan unsure-unsur yang berbeda akan sulit “ (h.
1-2). Kalim yang tak kalah kuatnya dikemukakan oleh Banathy, Trager, dan waddle (1966, h. 37): “
Perubahan yang harus terjadi dalam perilaku bahasa seseorang pembelajar bahasa
asing bisa disetarakan dengan perbedaan-perbedan antara sruktur bahasa dan
budaya asal murid dan struktur bahasa dan budaya sasaran.
Klaim tersebut di dukung oleh apa yang
disebut oleh sebagian peneliti sebagai peneliti sebagai metode empiris
prediksi. Sebuah model terkenal ditawarkan oleh Stockwell, Bowen, dan Martin (
1965), mereka mendalilkan apa yang mereka sebut hierarki kesulitan, yang membuat seorang guru atau linguis bisa meramalkankesulitan
relative suatu aspek bahasa sasaran. Untuk sistem fonologis yang dikontraskan,
Stockwell dan rekannya mengususlkan 8 kemungkinan tingkat kesulitan.
Tingkatan-tingkatan itu didasarkan pada gagasan-gagasan tentang transfer
(positif, negative, dan nol), dan tentang pilihan-pilihan obsional dan wajib
terhadap fonem-fonem tertentu dalam kedua bahasa yang dikontraskan. Nelalui
analisis yang cermat dan sistematis terhadap tingkat-tingkat kesulitan kedua
bahasa itu, para linguis terapan mampu mendapatkan sebuah inventaris cukup
akurat mengnai kesulitan-kesulitan fonologis yang akan dihadapi oleh seorang
pemelajar bahasa kedua.
Stockwell dan rekan-rekannya juga membangun
sebagai hierarki kesulitan bagi struktur gramatikal kedua bahasa yang
dikontraskan. Clifford Prator (1967) menangkap esensi hierarki gramatikal ini
dalam 6 kategori kesulitan. Hierarki prator bisa diterapkan pada
komponen-komponen gramatikal maupun fonologis bahasa. 6 kategori ini, dalam
urutan kesulitan meningkat, disajikan dibawah. Beberapa contoh menggambarkan
pasangan lain bahasa-bahasa yang dikontraskan.
Tingkat 0- Transfer. Tidak ada perbedaan atau kontras antara kedua
bahasa. Pembelajar bisa begitu saja mentrasfer (secara positif) sebuah bunyi,
struktur, atau item leksikal dari bahasa asal ke bahasa sasaran. Misalnya:
vocal cardinal, tata kata, kata-kata tertentu bahasa inggris dan spanyol(mortal, intelegente, arte, americanos)
Tingkat 1-Perpaduan. Dua item dalam bahasa asal berpadu menjadi
satu item dalam bahasa sasaran. Ini mengharuskan pembelajar mengabaikan sebuah
pembeda yang sudah mereka akrabi. Misalnya: kata ganti pemilik, orang ketiga
bahasa inggris menghendaki pembeda gender (his/her), dalam bahasa spanyol tidak
(su);seorang penutur bahasa inggris yang belajar bahasa prancis harus
mengabaikan perbedaan antara teach dan
learn dan hanya menggunakan satu kata apprende dalam bahasa prancis.
Tingkat 2-Subdiferensiasi.
Sebuah item dalam bahasa asal tidak ada dalam bahasa sasaran. Pembelajar harus
menghindari item itu. Misalnya: orang berbahasa inggris yang belajar bahasa
spanyol harus “melupakan” item-item bahasa inggris seperti do sebagai pembawa
sebuah bentuk waktu, bentuk-bentuk posesif kata-kata wh-(whose), atau penggunaan some
dengan kata benda yang tak bisa dihitung.
Tingkat 3-Reinterpretasi. Sebuah item yang ada dalam bahsa asli diberi
bentuk atau distribusi baru. Misalnya: seorang penutur bahasa inggris yang
belajar bahasa prancis harus mempelajari distribusi vocal sengau.
Tingkat 4-Oveerdiverensiasi.
Sebuah item yang sepenuhnya baru, kalaupun mirip hanya sedikit dengan item
bahasa asal, harus dipelajari. Mislanya: seorang penutur bahasa inggris yang
belajar bahasa spanyol harus belajar untuk menyertakan kata sandang penentu
dalam nomina umum(Man is mortal/El Hombre
es mortal), atau, umumnya mempelajari gender gramatikal bahasa spanyol yang
inheren dalam nomina.
Tingkat 5-Pembelahan. Satu item dalam bahasa asal
menjadi 2 atau lebih dalam bahasa sasaran, mengharuskan pembelajar membuat
sebuah pembeda baru. Misalnya: seorang penutur bahasa inggris yang belajar
bahasa spanyol harus mempelajari pembeda antara ser dan estar, atau
pembeda antara moda indikatif dan pengandaian bahasa spanyol.
DARI
CAH KE CLl
Predikasi
kesulitan dengan prosedur kontrastif segera terlihat mempunyai kelemahan
mencolok. Untuk satu hal, prosesnya terlalu disederhanakan. Pembeda-pembeda
fonetik-fonetik, fonologis, dan gramatikal yang tidak terlihat tidak
diterangkan dengan cermat. Kedua, sangat sulit, dengan 6 kategori itu sekalipun,
untuk menentukan dengan tepat kategori mana yang pas untuk sebuah kontras
tertentu.
Upaya memprediksi kesulitan dengan analisis kontrastif
adalah apa yang oleh Ronald Wardhaught (1970) disebut versi kuat CAH, sebuah versi yang dia yakini sungguh tidak realistis
dan mustahil diterapkan. Wardhaught mengatakan ( h .125) bahwa “setidaknya,
versi ini mensyaratkan para linguis memiliki satu set karakter umum linguistic
yang dirumuskan dalam sebuah teori linguistic menyeluruh yang menggarap secara
memadai sintaksis, semantic dan fonologi”.
Apa yang disebut versi lemah CAH itu hari ini masih
termsuk dalam label pengaruh lintas linguistic atau cross-linguistik influence (CLl) ( Odlin, 2003; Kellerman, 1995;
Kellerman & Sharwood-Smith, 1986), menganjurkan agar kita semua mengakui
peran penting yang dimainkan pengalaman terdahulu dalam setiap aksi
pembelajaran, dan bahwa pengaruh bahasa asal sebgagai pengalaman terdahulu
tidak boleh diabaikan. Perbedaan antara penekanan saat ini pada pengaruh, bukan
prediksi, adalah perbedaan yang penting. Selain fonologi, yang masih merupakan
kategori linguistic paling percaya untuk memprediksi performa pembelajar,
seperti di ilustrasikan pada permulaan bab ini, aspek-aspek lain bahasa
menyodorkan lebih banyak tebak-tebakan. Interferensi sintaksi, leksikal, dan
semantic memperlihatkan jauh lebih banyak variasi dikalangan pembelajar
ketimbang interverensi pengucapan berbasis psikomotor. Bahkan kategori-kategori
gramatikal yang dianggap sederhana seperti tata kata, bentuk waktu, atau aspek
ternyata mengandung banyak sekali variasi.
Kritik awal paling meyakinkan
terhadap versi kuat CAH diberikan oleh Whitman dan Jackson(1972), yang
melakukan tes empiris terhadap efektivitasi analisis konstrastif sebagai alat
memprediksi wilayah-wilayah kesulitan orang jepang yang belajar bahasa inggris.
Prediksi dalam 4 kategori analisis kontratif yang masing-masing terpisah
(termasuk buatan Stockwell dkk.,1965) diterapkan dalam sebuah tes 40 item tata
bahasa inggris untuk menentukan, diawal, kesulitan relative bagi penutur bahasa
jepang. Tes itu diberikan kepada 2500 pembelajar jepang yang belajar bahasa
inggris dan tidak mengetahui prediksi kesulitan relative tiap item.
Pukulan lain terhadap versi kuat CAH dilayangkan oleh
Orel dan Ziahosseiny(1970), yang mengusulkan apa yang bisa disebut sebagai
sebuah versi “perbedaan subtil” CAH berdasarkan studi menarik terhadap
kesalahan pengejaan. Bentuk kuat CAH akan memprediksikan bahwa mempelajari
sistem tulisan yang sama sekali baru ( tingkat 4 dalam hierarki kesulitan) akan
lebih sulit dari pada menginterpretasi ulang ( tingkat 3) kaidah ejaan Orell
dan Ziahosseiny mendapati justru sebaliknya yang benar, dan menyimpulkan bahwa
“pola-pola yang hanya sedikit berbeda bentuk atau maknanya dalam satu sistem
atau lebih, akan menimbulkan kebingungan”(h.186).
Pembelajran bunyi rangkaian, dan makna, menurut studi
Orell dan Ziahosseiny berpotensi sangat sulit diamana pembeda subtil diperlukan
baik antara bahasa sasaran dan bahasa asli maupun didalam sasaran bahasa itu sendiri.
Kesimpulan bahwa prbedaan besar tidak mesti menimbulkan
kesulitan besar menggaris bawahi signifikansi kesalahan interalingual( dalam 1
bahasa) (lihat sub berikut dalam bab ini), yang merupakan faktor dalam
pembelajaran bahasa kedua sama seperiti kesalahan interlingula( diantara 2
bahasa atau lebih). Bentuk-bentuk dalam suatu bahasa sering dianggap hanya
sedikit berbeda dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan besar
antara bahasa asal dan bahasa sasaran, tetapi faktor-faktor intralingual bisa
menimbulkan beberapa kesulitan terbesar.
Pada saat yang sama, kita juga harus memahami bahwa CLI
adalah sebuah faktor linguistik penting yang berperan dalam pemerolehan sebuah
bahasa kedua(Odlin, 2003;Jaszczolt, 1995). CLI melibatkan lebih dari sekedar
pengaruh bahasa pertama seseorang pada bahasa kedua;bahasa kedua juga
mempengaruhi yang pertama(Pavlenko & Jarvis, 2002). Lebih dari itu,
bahasa-bahasa selanjutnya pada orang-orang multilingual saling mempengaruhi
dalam berbagai cara. Penelitian khusus tentang CLI dalam bentuk leksikologi,
sintaksis, semantic, dan pragmatika kontranstif berlanjut untuk memberi
wawasan-wasanan bagi SLA yang tidak boleh direduksi(Odlin, 2003; Sharwoodsmith,
1996;Sheen 1996). Sheen (1996) mendapati, misalnya, bahwa dalam sebuah kursus
ESL bagi para penutur bahasa Arab, perhatian eksplisit pada kontras-kontras
sintaksis sasaran antara bahasa Arab dan bahasa inggris mengurangi rata-rata
kesalahan. Ternyata bentuk kuat CAH terlalu kuat, tetapi bentuk lemahnya
barangkali juga terlalu lemah. Penelitian CLI menawarkan pendirian yang lebih
moderat.
KEMENCOLOKAN
DAN TATA BAHASA UNIVERSAL
Fred
Eckman (2004, 1981, 1977) mendeskripsikan sebuah metode berguna untuk
menentukan arah kesulitan, Hipotesis
diferensial Kemencolokan (atau dikenal sebagai teori kemencolokan) buah
karyanya menjelaskan tingkat relative kesulitan dengan prinsip tata bahasa
universal. Celce-Murcia dan Hawkins (1985, h 66) meringkas teori kemencolokan:
Ia membedakan unsure dari suatu pasangan bentuk atau
struktur terkait dengan mengasumsikan bahwa anggota yang mencolok dalam suatu
pasangan mengandung sekurang-kurangnya 1 ciri lebih banyak dari pada yang tidak
mencolok. Selain itu, anggota tidak mencolok( atau netral) adalah yang
mempunyai jangkauan distribusi lebih luas dari pada anggota mencolok. Misalnya,
dalam kasus artikel tak tent bahasa inggris (a dan an), an adalah bentuk yang lebih kompleks
atau mencolok (mempunyai 1 bunyi tambahan) dan a adalah bentuk tidak mencolok dengan distribusi lebih luas.
Eckman (1981) menunjukkan bahwa item-item mencolok dalam
sebuah bahasa akan lebih sulit diperoleh dari pada yang tidak mencolok, dan
bahwa derajat kemencolokan akan sebanding dengan derajat kesulitan. Rutherford
(1982)menggunakan teori kemencolokan untuk menjelaskan mengapa tampaknya ada
aturan tertentu pemerolehan morfem dalam bahasa inggris: struktur mencolok
diperoleh belakangan dibandingkan struktur tak mencolok. Major dan
faudree(1996) mendapati bahwa performa fonologis penutur asli bahasa korea yang
belajar bahasa inggris mencerminkan prinsip-prinsip universal kemencolokan.
Alternatif yang masuk akal bagi teori kemencolokan muncul
dan dikenal sebagai Model Kompetisi pemerolehan
bahasa kedua (Gass & Selinker, 2001), yang mula-mula diusulkan oleh Bares dan
MacWhinney (1982). Model kompetesi menyatakan bahwa ketika opsi formal
(mislanya, fonologis, sintaksis) untuk menafsirkan makna dengan mengandalkan
bahasa pertama sudah habis , dengan sendirinya para pembelajar bahasa kedua
mencari kemungkinan-kemungkinan alternative yang “bersaing” untuk menciptakan
makna. Karena itu jika mislanya
gramatika bahasa asal gagal “menerjemahkan” suatu ujaran, seseorang
pembelajar berpaling pada makna, pengalaman, dan obsi-obsi strategis lain yang
bersaing untuk memahami ujaran dimaksud.
Teori kemencolokan, prespektif UG, dan Model Kompetisi
memberikan pemahaman tentang sulitnya mempelajari bahasa kedua, yang lebih
canggih dari pada pemahaman sebelumnya yang kita dapat dari rumusan-rumusan
awal CAH, dan lebih sesuai dengan studi-studi mutakhir CLl.
BAHASA
PEMBELAJAR
CAH menekankan efek
mengganggu bahasa pertama terhadap pembelajar bahasa kedua dan menyatakan,
dalam bentuk kuatnya, bahwa pembelajar bahasa kedua terutama, jika buakan
semata-mata, adalah sebuah proses pemerolehan item apa saja yang berbeda dari
bahasa pertama. Pandangan sempit semacam itu mengabaikan pengaruh intralingual
dan strategis dalam pembelajaran. Dalam tahun-tahun belakanganpara peneliti dan
guru menjadi semakin paham bahawa pembelajaran bahasa kedua adalah proses
kontruksi kreatif, sebuah sistem dimana para pembelajar dengan sadar menguji
seluruh hipotesis dengan bahasa sasaran dari sejumlah kemungkinan sumber
pengetahuan: pengetahuan tentang bahasa asal pengetahuan terbatas tentang
bahasa sasaran itu sendiri, pengetahuan tentang fungsi-fungsi komunikatif
bahasa, dan pengetahuan tentang hidup, orang, dan semesta di sekitar mereka.
Para pembelajar, dalam menyikapi lingkungan mereka, membangun apa yang bagi
mereka merupakan sistem bahasa sah bahasa tersendiri-seprangkat kaidah yang
disusun pada saat tertentu yang menertibkan tentang perenang linguistik yang
menghadang mereka.
Pada akhir tahun 1960-an, SLA mulai dikaji dengan cara
hampir sama dengan yang dipakai selama beberapa waktu untuk mengkaji pemerolehan
bahasa pertama: para pembelajar tidak dipandang sebagai produsen bahasa cacat
dan tak sempurna, tetapi sebagai mahluk cerdas yang dan kreatif yang memproses
pemerolehan melalui tahapan-tahapan sistematis logis, yang secara kreatif
menyiasati lingkungan linguistik mereka ketika menjumpai bentuk dan konteks
bermakna. Dengan sebuah proses bertahap trial
and eror serta pengujian hipotesis, secara perlahan-lahan dan penuh
kejemuan para pembelajar berhasil membangun perkiraan-perkiraan yang kian
mendekati sistem yang dipakai oleh para penutur asli suatu bahasa. Sejumlah
istilah yang diciptakan untuk menggambarkan perspektif yang menekankan
legitimasi sistem bahasa kedua pembelajar. Yang paling terkenal di antaranya
adalah antarbahasa, sebuah istilah
yang diadaptasi Sekiner (1972) dari istilah “interlingual” Weinreich (1953).
Antarbahasa, sebuah sistem bahasa yang memperantarai bahasa asli dengan bahasa
sasaran, adalah sistem bahsa pembelajar yang berdiri sendiri.
Nemser
(1971) merujuk kepda fenomena umum yang sama dalam pembelajaran bahasa kedua
tetapi menekankan pikiran berkelanjutan terhadap bahasa sasaran dalam sistem aproksimatif yang diajukannya.
Corder (1971, h. 151) menggunakan istilah dialek
idiosinkratis untuk menyuratkan ide bahwa bahasa si pembelajar adalah unik
untuk setiap individu, sehingga kaidah bahasa si pembelajar adalah unik bagi
individu yang bersangkutan saja. Walaupun masing-masing sebutan menekankan
suatu gagasan tersendiri, keduanya mempunyai konsep bahwa para pembelajar
bahasa kedua sedang membentuk sistem linguistik swasembada mereka sendiri. Ini
bukan sistem bahasa asal maupun sasaran,melaikan sebuah sistem yang di dasarkan
pada upaya yang terbaik para pembelajar untuk menertibkan menyusun stimuli
linguistik yang mengepung mereka.himpotesis antar bahasa melahirkan sebuah era
benar-benar baru dalam penelitian dan pengejaran bahasa kedua dan menghadirkan
sebuah terobosan signifikan dari kungkungan CAH.
Pendekan paling jelas untuk menganalisis
antarbahasa adalah mengkaji bicara dan tulisan pembelajar, atau yang
kadang-kadang disebut bahasa pembelajar (lightbown
& Spada, 1993; James, 1990). Data produksi bisa diamatri secara publik dan
cukup mencerminkan kompetesi dasar seorang pembelajar-kompetesi produksi dengan
kata lain. Pemahaman terhdap bahasa kedua lebih sulit dikaji karena tidak bisa
di amati langsung dan harus disimpulkan dari respon-respon terbuka verbal dan
nonverbal, dengan instrumen-instrumen buatan, atau dengan intuisi guru atau
peneliti.
Maka,
kajian tentang wicara dan tulisan para pembelajar umumnya adalah kajian tentang
kesalahan para pembelajar. Produksi yang “benar“ mendatangkan sedikit informasi
tentang sistem linguistik aktual pembelajar, hanya informasi tentang sistem
bahasa sasaran yang sudah diperoleh pembelajar.
ANALISTIS
KESALAHAN
Pembelajaran pada
hakikatnya adalah sebuah proses yang melibatkan pembuatan kekeliruan.
Kekeliruan, salah penilaian, salah perhitungan, dan asumsi-asumsi tidak tepat
membentuk sebuah aspek penting pembelajaran dihampir sebuah keterampilan atau
pemerolehan informasi.
Para
peneliti dan guru bahasa kedua menyadari bahwa kekeliruan yang dibuat seseorang
dalam proses membangun sebuah sistem bahasa baru ini perlu dianalisis dengan
teliti, sebab boleh jadi didalamnya terdapat beberapa kunci untuk memahami
proses pemeroleh bahasa kedua (James, 1998). Corder (1967, h. 167) mengatakan:
“kesalahan seseorang pembelajar... adalah sinifikan [hal] kesalahan itu memberi
para penbeliti bukti tentang bagaimana bahasa dipelajari atau diperoleh,
strategi atau prosedur apa yang dipakai pembelajar dalam penemuan bahasa.”
Kekeliruan
dan Kesalahan
Untuk menganalisis bahasa
pembelajar dalam persepektif yang pas, perlu dibuat sebuah pembedaan antara
kekeliruan dan kesalahan, secara teknis merupakan dua fenomena sangat berbeda. Kekeliruan merujuk pada kesalahan
performa yang merupakan tebakan acak atau sebuah “Selip”; ini adalah kegagalan
memanfaatkan sebuah sistem, yang dikenal dengan tepat. Semua orang membuat
kekeliruan, dalam situasi bahasa asal maupun bahasa kedua. Para penutur asli
normalnya mampu mengenali dan mengoreksi “ kegagalan” atau kekeliruan semacam
itu yang bukan hasil dari kurang nya kompetensi melainkan dari semacam
kemacetan sementara atau ketidaksempurnaan dalam proses produksi wicara.
keraguan-raguan, selip lidah, ketidakgramatikalan acak,dan kegagalan-kegagalan
performa lain dalam produksi penutur asli juga terjadi dalam bicara bahas
kedua.kekeliruan,ketika diperhatikan,bisa mengoreksi diri.
Kekeliruan harus
dibedakan secara teliti dari kesalahan pembelajar
bahasa kedua,kejanggalan dalam bahasa pembelajar bersangkutan yang merupakan
manifestasi langsung sebuah sistem yang ya jalankan pada saat itu. Sebuah
kesalahan, sebuah penyimpangan gamblang dari bahasa penutur asli dewasa,
mencerminkan kompetensi pembelajar.para pembelajar bahasa inggris yang bertanya
”Does John can sing?” kemungkinan besar mencerminkan tingkat kopetensi dimana
semua verba menghendaki penempatan terlebih dahulu kata bantu do untuk bentuk tanya. Maka, ini adalah
kesalahan, kemungkinan besar bukan sebuah kekeliruan,dan sebuah kesalahan
mengungkapkan suatu porsi kompetensi pembelajar dalam bahasa sasaran.
Dapatkah anda
menyembutkan perbedaan antara kekeliruan dan kesalahan? Tidak selalu. Sebuah
kesalahan tidak bisa dikoreksi sendiri, menurut James (1998,h.83), sedangkan
kekeliruan bisa dikoreksi sendiri jika penyimpangan ditunjukan kepada penutur.
Tetapi kapasitas pembelajar untuk mengoreksi diri hanya bisa diamati secara
objektif jika pembelajar benar-benar mengoreksi diri; karena itu, jika koreksi
diri semacam itu tidak ada, kita masih tidak punya sarana untuk
mengidentifikasi kesalahan vs.kekeliruan. Maka, bisakah kita berpaling pada
frekuensi sebuah bentuk menyimpang sebagai sebuah kriteria? kadang-kadang.
Jika, pada satu atau dua kesempatan, seorang pembelajar bahasa inggris
mengatakan ”John cans sing” tetapi
pada kesempatan lain mengatakan ”John can
sing”, sulit menentukan apakah ”cans”
itu sebuah kekeliruan atau kesalahan. Tetapi, jika telah lebih jauh
terhadap wicara pembelajaran secara konsisten mengungkap ujaran-ujaran seperti ”John wills go”,”John mayes come”, dan
seterusnya, dengan amat jarang terjadi penggunaan tepat pada kata bantu orang
ketiga tunggal, anda cukup aman menyimpulkan bahwa”cans”,”mayes” dan bentuk-bentuk lain semacam itu adalah kesalahan
yang menunjukan bahwa pembelajaran tersebut tidak membedakan modal dari
verba-verba lain.tetapi mungkin saja, karna beberapa contoh produksi tepat
dalam bentuk ini, pembelajaran itu hampir bisa membedakan kedua tipe verba
itu.dengan demikian anda bisa mengapresiasi subjektivitas penentuan perbedaan
antara sebuah kekeliruan dan sebuah kesalahan dalam wicara pembelajar.pekerjaan
itu selalu mengandung kemungkinan kesalahan asumsi seorang guru atau peneliti.
Kesalahan
dalam Analisis Kesalahan
Ada bahayanya terlalu
banyak memperhatikan kesalahan pembelajar.Walaupun kesalahan memang
mengungkapkan sebuah sistem yang berlaku,guru bahasa di kelas bisa sedemikian
sibuk mengamati kesalahan sehingga koreksi ujaran dalam bahasa kedua tidak
diperhatikan. Dalam pengamatan dan analisis kita terhadap kesalahan-walaupun
benar mengungkap tentang pembelajar-kita harus mewaspadai pemberian perhatian
terlalu banyak pada kesalahan dan tidak meluput nilai dorongan positif bagi
kejelasan pengungkapan yang merupakan produk kemajuan dan perkembangan
pembelajar. Meskipun mengurangi kesalahan adalah kriteria penting bagi peningkatan
kecakapan bahasa,tujuan akhir pembelajaran bahasa kedua adalah pencapaian
kelancaran komunikatif.
Kelemahan lain dari
analisis kesalahan adalah penekanan berlebihan pada data produksi. bahasa
adalah berbicara dan mendengarkan, menulis dan membaca. Peluang bagi analisis
dan karena itu menjadi mangsa para peneliti,tetapi data pemahaman sama
pentingnya dalam mengembangkan pemahaman proses SLA.
Kita
berkembang,dalam analisis terhadap kesalahan pembelajar,untuk membahas Analisis performa atau “analisis antarbahasa”(Celce-Mrucia
& Hawkins,1985,h.64),sebuah konsep tak terlalu menungkung yang melakukan
pencarian kesalahan secara sehat dalam perspektif lebih luas performa bahasa
total pembelajar.meski kita banyak membicarakan analisis kesalahan dalam bab ini,tetap
kita harus ingat bahwa kesalahan produksi hanyalah satu bagian kecil dari
keseluruhan performa pembelajar.
Identifikasi
dan Deskripsi Kesalahan
Salah satu kesulitan
lumrah dalam memahami sistem linguistik bahasa pertama maupun kedua adalah
pembelajar karena sistem semacam itu tidak bisa diamati langsung. Sistem ini
harus disimpulkan dengan menganalisis data produksi dan pemahaman yang membuat
pekerjaan ini makin sukar adalah variasi
atau ketidakstabilan sistem-sistem pembelajar (Romaine,2003). Sistem terus
berada dalam keadaan naik turun ketika arus informasi masuk dan proses
penggabungan menyebabkan struktur yang ada harus direvisi. Pengamatan
berulang-ulang terhadap seorang sering mengungkapkan data yang tampak tidak
terduga dan bahkan bertentangan. Dalam melakukan pekerjaan analisis performa,
guru dan peneliti diminta menyimpulkan susunan dan logika dalam sistem yang
tidak stabil dan berubah-ubah ini.
Langkah
pertama dalam proses analisis adalah mengenali dan menjelaskan kesalahan.Corder
(1971) menyediakan sebuah model untuk mengenali ujaran salah dan janggal dalam
sebuah bahasa kedua.Model ini disajikan sebagai skema dalam bagian 9.1. Menurut
model Corder,setiap kalimat yang diucapkan pembelajaran dan kemudian
ditranskripsikan bisa diperiksa kejanggalannya. Sebuah pembedaan dilakukan
sejak awal antara Kesalahan terbuka
dan tertutup. Ujaran-ujaran salah
yang terbuka sudah pasti tidak gramatikal pada taraf kalimat. Ujaran salah yang
tertutup adalah benar secara gramatikal tetapi tidak bisa ditafsirkan dalam
konteks komunikasi. Kesalahan tertutup, dengan kata lain, sebetulnya tidak
tertutup kalau anda memperhatikan wacana sekitar (sebelum dan sesudah ujaran).
”I’m fine,thank you“ adalah tepat
secara tata bahasa, tetapi sebagai tanggapan untuk “Who are you”? Jelas sebuah kesalahan. Istilah yang lebih sederhana
dan lebih tepat sasaran kiranya adalah kesalahan “taraf kalimat” dan “taraf
wacana”.
Model
Corder dalam bagan 9.1 menunjukan bahwa,baik dalam kesalahan terbuka maupun
tertutup,jika menafsiran yang masuk akal bisa dibuat untuk salah satu kalimat,
orang harus membentuk ulang kalimat dalam bahasa sasaran, membandingkan
rekontruksi itu dengan kalimat janggal semula, lalu menjelaskan
perbedaan-perbedaannya.
Sumber
Kesalahan
Setelah menelaah
prosedur-prosedur analisis kesalahan yang digunakan untuk mengidentifikasi
kesalahan-kesalahan dalam data produksi pembelajar bahasa kedua, langkah
terakhir adalah menentukan sumber kesalahan. Mengapa kesalahan-kesalahan
tertentu dilakukan? strategi kognitif dan gaya atau bahkan variabel
personalitas apa yang mendasari kesalahan-kesalahan tertentu? Walaupun
jawaban-jawaban untuk pertanyaan semacam itu agak spekulatif dalam arti
sumber-sumber harus disimpulkan dari data yang ada, dalam pertanyaan-pertanyaan
demikian terdapat nilai paling utama dari analisis bahasa pembelajar pada
umumnya.dengan upaya mengenali sumber, selanjutnya kita bisa mencoba memahami
bagaimana proses kognitif dan afektif pembelajar terkait dengan sistem
lingustik dan merumuskan pemahaman utuh kita tentang proses pemerolehan nahasa
kedua.
Transfer
Interlingual
Sebagaimana kita ketahui
transfer interlinguan adalah sumber kesalahan besar bagi semua pembelajar.
Tahap permulaan mempelajari sebuah bahasa kedua terutama sangat rawan terhadap
transfer interlinguan dari bahasa asal, atau interferensi. Pada tahap-tahap
awal ini, sebelum sistem bahasa kedua menjadi familier, bahasa asal adalah
satu-satunya sistem linguistik terdahulu yang bisa diandalkan pembelajar. Kita
sudah mendengar para pembelajar bahasa inggris mengatakan, ”sheep” untuk “ship”,
atau “book of jack” bukannya ”jackbook”; pembelajaran bahasa prancis
mungkin mengatakan ”Je sais jean” untuk
” Je connais jean”, dan seterusnya.
Semua kesalahan ini bisa dihubungkan dengan transfer interlingual negatif.
Walaupun tidak selalu jelas bahwa sebuah kesalahan adalah hasil transfer dari
bahasa asal,banyak kesalahan semacam itu yang bisa dideteksi dalam wicara
pembelajar. Pengetahuan memadai atau bahkan familiaritas dengan bahasa asal
seorang pembelajar tentu memudahkan guru dalam mendeteksi dan menganalisis
kesalahan semacam itu.
Pembelajar
bahasa ketiga (dan bahasa-bahasa selanjutnya) menyediakan konteks menarik bagi
penelitian. Tergantung pada sejumlah faktor, termasuk keterkaitan linguistik
dan kultural bahasa-bahasa dan konteks pembelajaran, ada beragam derajat
interferensi interlingual dari bahasa pertama maupun bahasa kedua pada bahasa
ketiga, apalagi jika bahasa bahasa kedua dan ketiga terkait erat atau
pembelajaran mencoba sebuah bahasa ketiga tak lama setelah permulaan bahasa
kedua.
Transfer
Intralingual
Salah satu kontribusi
besar penelitian pembelajaran bahasa adalah pengenalannya atas sumber-sumber
kesalahan yang melabar melampaui kesalahan-kesalahan interlingual dalam
pembelajaran bahasa kedua. kini menjadi
jelas bahwa transfer intralingual
(dalam bahasa sasaran itu sendiri) adalah faktor utama dalam pembelajaran
bahasa kedua.
Transfer intralingual negatif, atau
generalisasi berlebihan sudah digambarkan dalam ujaran-ujaran seperti “Does John can sing”? contoh-contoh lain
melimpah ujaran seperti “He goed”,
“I can don’t know what time is it”.
Sekali lagi guru atau peneliti tidak bisa selalu yakin mengenai sumber
kesalahan intralingual, tetapi pengamatan sistematis menganai berulang-ulang
terhadap data wicara pembelajar sering bisa melenyapkan ambiguitas satu
pengamatan tunggal terhadap sebuah kesalahan.
Analisis
kesalahan intalingual dalam sebuah korpus data produksi bisa mejadi sangat
komplek. Misalnya, dalam analisis Barry Tailor(1975,h.95) terhadap
kalimat-kalimat bahasa inggris yang di buat oleh para pembelajar ESL,
upaya0upaya salah utuk memproduksi verba pokok sesudah sebuah kata bantu
menghasilkan sembilan tipe kesalahan yang berlainan :
1. Bentuk
past tense verba sesudah sebuah modal
2. –s
present tense dalam sebuah verba
sesudah verba sebuah modal.
3. –ing dalam sebuah verba sesudah sebuah
modal
4.
Are
(untuk be)
sesudah wil
5.
Bentuk past tense verba
sesudah do
6.
–s
present tense dalam sebuah verba sesudah do
7.
–ing
dalam sebuah verba sesudah do
8.
Bentuk past tense sebuah verba sesudah be (disisipkan untuk mengganti sebuah
modal atau do)
9.
–s
present tense dalam sebuah verba sesudah be (disisipkan untuk mengganti sebuah
modal atau do)
Dan tentunya ini sebatas
pada data tertentu yang di analisis Taylor dan karna itu tidak komplet dalam
sebuah kategori gramatikal.
TAHAP
PERKEMBANGAN BAHASA PEMBELAJAR
Para pembelajar
sedemikian beraneka ragam dalam upaya mereka memperoleh bahasa kedua hingga
tahap perkembangan mereka tidak bisa di seragamkan. Meminjam beberapa wawasan
dari sebuah model terdahulu yang diusulkan oleh Corder (1973), akan berguna
mempertimbangkan empat tahapan, berdasarkan pengamatan terhadap apa yang
dilakukan oleh para pembelajar berkenaan dengan kesalahan saja.
1. Yang
pertama adalah tahapan kesalahan acak,
sebuah tahapan yang disebut Corder prasistematik,
di mana pembelajar hanya samar-samar mengerti bahwa ada semacam tatanan
sistematik untuk kelompok item tertentu.
2. Pada
tahapan kedua, atau tahap muncul, kita
menjumpai pembelajar tumbuh secara konsisten dalam produksi linguistik. Ia
mulai mencerna sebuah sistem dan menginternalisasi kaidah-kaidah tertentu.
Kaidah-kaidah itu mungkin tidak tepat menurut standar bahasa target, tetapi
bagaimanapun juga sah dalam benak pembelajar. Tahapan ini dicirikan oleh
semacam langkah surut, di mana
pembelajar tampaknya sudah menguasai sebuah kaidah atau prinsip lalu mundur ke
suatu tahap sebelumnya. Fenomena bergerak dari bentuk tepat ke bentuk tidak
tepat lalu kembali ke yang tepat ini disebut pembelajaran bentuk U (Gass &
Selinker, 2001).
3. Tahap
ketiga adalah tahap benar-benar sistematis
di mana pembelajar sudah mampu memanifestasikan lebih banyak konsistensi dalam
produksi bahasa kedua. Walaupun kaidah-kaidah yang tersimpan dalam benak
pembelajar masih belum tepat bentuknya, dan sebagian dari mereka mengikuti
proses berbentuk U yang disebut di atas, secara internal mereka lebih konsisten
dan, tentu saja, mereka makin mendekati sistem bahasa sasaran.
4. Tahap
terakhir, yang oleh sebagian peneliti (Long, 2003, misalnya) disebut stabilisasi, mirip dengan yang disebut Corder (1973) tahap pascasistematik. Di sini
pembelajar mempunyai relatif sedikit kesalahan dan sudah menguasai sistem
hingga titik kefasihan dan tak ada masalah dengan makna-makna tersirat. Tahap
keempat ini dicirikan oleh kemampuan pembelajar untuk mengoreksi diri.
Harus ditegaskan bahwa
empat tahap sistematis yang diuraikan di atas tidak menjelaskan keseluruhan
sistem bahasa kedua pembelajar. Akan sulit kita menyatakan misalnya, bahwa
seorang pembelajar sedang berada pada tahap muncul secara keseluruhan. Orang
mungkin saja berada pada tahap kedua dan seterusnya. Terakhir, kita harus ingat
bahwa produksi kesalahan saja adalah ukuran tidak memadai bagi kompetensi
keseluruhan. Kebetulan saja kesalahan-kesalahan itu merupakan ciri menonjol
antarbahasa si pembelajar bahasa kedua dan menyodori kita bahan untuk analisis
kesalahan. Namun ujaran-ujaran yang tepat pun pantas mendapat perhatian kita
dan, khususnya dalam proses belajar-mengajar, layak memperoleh dorongan
positif.
VARIASI
DALAM BAHASA PEMBELAJAR
Persis seperti seorang
penutur asli bahasa Inggris terombang-ambing antara ungkapan-ungkapan seperti “it has to be you” dan “it must be you” para pembelajar juga
memperlihatkan variasi, kadang-kadang dalam parameter norma-norma yang bisa diterima,
kadang-kadang tidak. Suatu variasi dalam bahasa pembelajar bisa dijelaskan
dengan apa yang dinyatakan oleh Garbonton (1983) sebagai “penyebaran bertahap”
bentuk-bentuk bahasa yang tidak tepat dalam tahap perkembangan muncul dan
sistematis. Di kelas, tipe tugas bisa mempengaruhi variasi (Tarone &
Parrish,1988). Dan variasi bisa disebabkan, dalam pembelajaran dengan atau
tanpa guru, oleh sejauh mana seorang pembelajar dihadapkan pada berbagai norma.
Inti persoalannya adalah
apakah pembelajar bisa dan sungguh memperlihatkan derajat variasi luar biasa
dalam cara mereka bicara (dan menulis) dalam bahasa kedua. Apakah variasi itu
bisa diprediksi? Atau kita mesti menyingkirkan itu semua sebagai “variasi
bebas”?. Terkemuka di antara sekian model variabilitas adalah paradigma
kontunuum kapabilitas Elaine Tarone (1988) dan model kompetensi variabel Rod
Ellis (1994,1986).
Tarone (1988) mengakui bahwa variasi bebas yang tak
sistematik dan variasi individual memang sungguh ada, tetapi ia memilih
memfokuskan perhatiannya pada variabilitas kontekstual,
yakni sejauh mana konteks linguistik maupun situasional bisa membantu
mendeskripsikan secara sistematik apa yang tampak sebagai variasi tak
terjelaskan. Tarone mengusulkan empat katogori variasi :
1. Konteks
linguistik
2. Faktor-faktor
pemrosesan psikologis
3. Konteks
sosial
4. Fungsi
bahasa
Penekanan pada
konteks mendorong para peneliti untuk mencermati kondisi-kondisi di mana
bentuk-bentuk linguistik tertentu berubah-ubah. Misalnya, anggaplah seorang
pembelajar pada suatu saat mengatakan (1) “He
must paid for the insurance” dan pada saat yang lain mengatakan (2) “He must pay the parking fee.”
Salah satu wilayah
paling diminati dalam penelitian bahasa adala penelitian untuk melihat
perbedaan antara konteks ruang kelas
dan situasi alami di luar kelas.
Ketika para peneliti menelaah pemerolehan bahasa kedua di kelas (R. Ellis,
2005, 1997, 1990b; Doughty, 2003, 1991; Buczowska & Weist, 1991), tampak
jelas bahwa pengajaran tidak hanya meningkatkan rata-rata keberhasilan para pembelajar
tetapi juga bahwa konteks ruang kelas itu sendiri menjelaskan banyak sekali
variabilitas dalam keluaran pembelajar.
Bertumpu pada karya
Bialystok (1978), Ellis membuat hipotesis tentang gudang “kaidah-kaidah
antarbahasa yang berubah-ubah” (h.269) tergantung pada seberapa otomatis
kaidah-kaidah itu dan bagaimana mereka dianalisis. Dia menarik garis pembeda
tajam antara wacana terencana dan wacana tak terencana untuk mengkaji variasi.
Yang disebut pertama menyiratkan kurangnya otomatisitas, dan karena itu
mengharuskan pembelajar mengandalkan kaidah-kaidah bahasanya sendiri. Yang
belakangan lebih otomatis, karena itu mendorong pembelajar untuk mempelajari
seperangkat kaidah lain.
Kedua model itu
mengundang kritik. Gregg (1990) menentang penolakan Tarone maupun Ellis
terhadap “paradigma kompetensi homogen” Chomsky. Argumen dan argumen bantahan
semacam itu akan berlanjut. Tetapi satu pelajaran yang kita petik dari semua
itu jelas: remeh temeh terkecil bahasa pembelajar, betapapun acak atau
“beubah-ubah” pada pandangan pertama, bisa sangat “sistematis” andai saja kita
terus mengamati.
FOSILISASI
ATAU STABILISASI?
Sangat lazim kita temui dalam bahasa seseorang pembelajar
berbagai komponen-komponen salah yang bertahan walaupun ia sudah memiliki
penguasaan bahasa yang memadai. Fenomena ini paling terlihat secara fonologis
dalam “aksen asing” dalam wicara kebanyakan orang yang mempelajari bahasa kedua
setelah masa akil balik, sebagaimana sudah kita ketahui dalam Bab 3. Kita juga
sering mengamati kesalahan-kesalahan sintaksis dan leksikal yang bertahan dalam
wicara mereka yang menguasai sebuah bahasa dengan baik. Penggabungan relatif
permanen bentuk-bentuk linguistik yang tidak tepat ini ke dalam kompetensi
bahasa kedua seseorang disebut fosilisasi.
Fosilisasi adalah sebuah tahap normal dan alami bagi banyak pembelajar, dan
jangan dipandang sebagai semacam akhir, walaupun metafora itu mengingatkan pada
situasi membatu yang tidak bisa diubah. Michael Long (2003, h. 251)
mengemukakan “lebih relevan ia disebut mengalami stabilisasi, bukan fosilisasi,”
yang membiarkan kemungkinan tetap terbuka bagi perkembangan selanjutnya pada
suatu waktu.
Fosilisasi bisa
dipandang selaras dengan prinsip-prinsip manusia yang sudah dibicarakan dalam
buku ini: pengondisian, penguatan, kebutuhan, motivasi, penentuan nasib
sendiri, dan lain-lain. Vigil dan Oller (1976) memberikan penjelasan formal
tentang fosilisasi sebagai faktor afektof, positif maupun negatif, dan umpan
balik kognitif. Mereka mengamati ada dua jenis informasi yang diteruskan antara
sumber (pembelajar) dan audiens (dalam hal ini penutur asli): informasi tentang
hubungan afektif antara sumber dan
audiens, dan informasi kognitif-fakta,
pengandaian, keyakinan. Informasi afektif terutama dikodekan sehubungan dengan
mekanisme kinesik seperti gerakan tubuh, nada suara, dan ekspresi wajah,
sementara informasi kognitif biasanya disampaikan dengan perangkat-perangkat
linguistik (bunyi, frase, struktur, wacana). Umpan balik yang didapat para
pembelajar dari audiens mereka bisa positif, netral, diantara itu, atau
negatif. Kedua tipe dan tingkat umpan balik disusun disusun di bawah ini :
Umpan Balik Afektif
Positif :
Teruslah bicara, saya mendengarkan.
Netral :
Saya tidak yakin ingin meneruskan percakapan ini.
Negatif : Percakapan ini selesai.
Umpan
Balik Kognitif
Positif :
Saya paham maksud Anda; Jelas.
Netral : Saya tidak yakin apakah saya memahami Anda dengan tepat atau tidak.
Netral : Saya tidak yakin apakah saya memahami Anda dengan tepat atau tidak.
Negatif :
Saya tidak paham apa yang Anda katakan; tidak jelas.
Berbagai kombinasi
kedua tipe utama umpan balik itu dimungkinkan. Jika orang sekurang-kurangnya
tidak didukung dalam upaya mereka berkomunikasi, tak banyak alasan untuk
melanjutkan. Jadi, salah satu persyaratan pertama bagi komunikasi bermakna,
sebagaimana sudah ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya, adalah peneguhan
afektif orang lain.
Dengan demikian
model Vigil dan Oller menganggap respon
afektif positif mutlak diperlukan agar pembelajar terus berusaha berkomunikasi.
Maka umpan balik kognitifpun menentukan tingkat internalisasi. Umpan balik
negatif atau netral dalam dimensi kognitif akan, dengan prasyarat umpan balik
afektif positif, akan mendorong pembelajar untuk mencoba lagi, menyatakan lagi,
merumuskan kembali, atau membuat suatu hipotesis berbeda tentang suatu kaidah.
Umpan balik positif dalam dimensi kognitif berpotensi menghasilkan penguatan
atas bentuk-bentuk yang digunakan dan para pembelajar bisa menyimpulkan bahwa
wicara mereka tepat. Item-item yang memfosil, menurut model ini, adalah
item-item menyimpang dalam wicara seorang pembelajar yang mula-mula mendapat
umpan balik afektif positif (“Teruslah bicara”), lalu umpan balik kognitif
positif (“Saya paham”), menguatkan bentuk bahasa yang tidak tepat. Menarik
bahwa internalisasi bentuk0bentuk tidak tepat ini terjadi dalam proses yang
sama dengan internalisasi bentuk-bentuk tepat. Kita sebut yang terakhir ini,
tentu saja “pembelajaran”, tetapi unsur-unsur masukan, interaksi, dan umpan
balik yang sama hadir. Ketika bentuk-bentuk tepat diproduksi, umpan balik yang
berbunyi “Saya betul-betul memahami Anda” menguatkan bentuk-bentuk itu.
Kita perlu
berhati-hati dalam menafsir dan menerapkan model Vigil dan Oller. Walaupun
model itu sangat membantu, misalnya, dalam memahami pengaruh perlakuan terhadap
kesalahan, namun, seperti yang akan segera kita lihat dalam sub berikut, tak
memadai jika kita hanya menganggap penting umpan balik semata. Selinker dan
Lamendella (1979) melihat bahwa model Vigil dan Oller bertumpu pada gagasan
umpan balik ekstrinsik, dan bahwa
faktor-faktor lain yang internal bagi pembelajar menyebabkan fosilisasi.
Pembelajar bahasa yang sukses cenderung bertanggung jawab atas pencapaian
mereka sendiri, aktif mencari sarana pemerolehan. Walhasil, fosilisasi bisa
jadi adalah hasil dari ada atau tidak adanya faktor-faktor penggerak internal,
usaha berinteraksi dengan orang lain, pemfokusan sadar pada berbagai bentuk,
dan investasi strategis seseorang dalam proses pembelajaran.
Isu lebih jauh dan
lebih serius tentang fosilisasi adalah menyangkut kesahihan teoritisnya. Dalam
tinjauannya, Long (2003) menyimpulkan bahwa stabilisasi adalah konsep yang
lebih tepat untuk diterapkan kepada para pembelajar yang perkembangan bahasanya
tampaknya mencapai “fase stabil”. Long berpendapat bahwa fosilisasi paling
banter adalah asumsi, sebab tidak ada cukup data untuk mendukung itu, juga
tidak ada analisis yang memadai untuk data itu.
Jadi, Anda
barangkali terheran-heran, apa yang kita punya, fosilisasi atau stabilisasi?
Perdebatan di kalangan peneliti akan berlangsung cukup lama, tetapi demi
memahami bagaimana dan mengapa banyak pembelajar bahasa kedua mencapai tahap
tidak berkembang atau bahkan surut-istilah lain yang dipopulerkan Selinker
(1972)-kita tahu bahwa fenomena semacam itu bisa dijelaskan secara teoritis
dengan pengetahuan kita tentang pembelajaran manusia pada umumnya. Semua
pembelajar di semua bidang melewati jalur kemajuan yang tidak rata, dan dalam
banyak hal, khususnya dalam tahap lanjut pembelajaran, jalur itu menjadi datar
untuk waktu cukup lama. Kadang-kadang fase stabil itu disebabkan oleh
faktor-faktor motivasional, entah itu intrinsik atau ekstrinsik atau keduanya,
dan kala yang lain karena variabe-variabel lain: usia, kemahiran, masukan,
perhatian dan konteks sosial. Untuk saat ini, konsep stabilisasi tampaknya
menjadi landasan yang lebih aman-ini “meringankan beban teori SLA” (Long, 2003,
h.521)
KESALAHAN
DI KELAS : SEJARAH RINGKAS
Secara historis,
perlakuan terhadap kesalahan di kelas bahasa merupakan topic panas. Pada masa
Metode Audiolingual, kesalahan dipandang sebagai fenomena yang harus dihindari
dengan belajar ekstra, menghafal dan “berhasil” sejak awal. Lalu, beberapa
metode (Pembelajaran Bahasa Komunitas, dan Pendekatan Alami) menganut
pendekatan laissez-faire terhadap
kesalahan, dengan asumsi bahawa proses alami dalam ciri pembelajar pada
akhirnya akan menuntun pada pemerolehan. Pendekatan-pendekatan CLT, termasuk
instruksi berbasis tugas, kini cenderung mendukung keseimbangan optimal antara
perhatian pada bentuk (dan kesalahan) dan perhatian pada makna.
Model umpan balik
komunikasi Vigil dan Oller (1976) menawarkan salah satu model pertama untuk
mendekati kesalahan di kelas bahasa. Implikasi paling bermanfaat atas model
Vigil dan Oller bagi teori perlakuan terhadap keslahan adalah bahwa umpan balik
kognitif harus optimal agar efektif. Terlalu banyak umpan balik kognitif
negative-rentetan interupsi, koreksi, dan perhatian terbuka pada abnormalitas
bentuk- sering membuat para pembelajar mematikan usaha mereka untuk
berkomuniksi. Di pihak lain, terlalu banyak umpan balik kognitif – kesediaan
guru pendengar membiarkan keslahan tidak dikoreksi, memaklumi ketika tidak
diperlukan pemakluman- bisa berfungsi menguatkan kesalahan penutur pmbelajar.
Ketika penutur mendapat
dorongan “positif” atau “lampu hijau” mereka akan terdorong untuk
menginternalisasi pola-pola wicara tertentu. Umpan balik korektif bisa tetap
“positif” dalam Skinnerian. Tetapi, mengabaikan perilaku salah punya pengaruh
terhadap pendorong positif, oleh sebab itu guru harus sangat cermat untuk
mengetahui kemungkinan konsekuensi-konsekuensi pendorong umpan balik netral.
Dalam sebuah artikel
praktis tentang perlakuan terhadap kesalahan, Hendrickson (1980) menyarankan
para guru untuk mencoba mengerti perbedaan antara keslahan global dan lokal.
Kesalahn lokal umumnya tidak perlu dikoreksi karena maksudnya jelas, dan
koreksi bisa menyela pembelajar dalam arus komunikasi produktif. Sedangakan
kesalahan global perlu diperlakukan dengan suatu cara karena kalu dibiarkan
pesannya bisa tetap membingungkan.
Seorang guru yang
sensitive dan perlu pengertian harus menjadika kelas bahasa sebuah kombinasi
terbaik antara kesantunan berlebihan dunia nyata dan harapan pembelajar ke
kelas, yaitu bahwa setiap kesalahan harus dikoreksi. Kathen Bailey (1985),
misalnya menyarankan agar guru bahasa mempunyai opsi dasar ketika berhadapan
dengan muridyang melakukan keslahan, termasuk melakukan penanganan atau
mengabaikan kesalahan itu, memperlakukannya sekarang atau nanti, merangsang
para pembelajar lain untuk memberikan penanganan, dan menguji efektivitas
penanganan. Bailey (1985) juga mengatakan bahwa guru kemudian mempunyai
beberapa “komponen” dalam opsi-opsi itu seperti hanya menunjukan fakta bahwa
sebuah kesalahan terjadi, memperagakan sebuah koreksi, atau menunjukan tipe
kesalahan yang terjadi.
INSTRUKSI
BERFOKUS BENTUK
Karena focus instruksi
ruang kelas telah bergeser dari penekanan pada bentuk-bentuk bahasa menuju
perhatin pada bahasa fungsional dalam konteks komunikatif, persoalan mengani
instruksi berfokus bentuk (FFI) semakin penting. Salah satu definisi Spada
yaitu “setiap upaya pedagogis yang digunakan untuk menarik perhatian pembelajar
pada bentuk bahasa baik secara implisit maupun eksplisit”.
Tersirat dalam definisi
itu serangakaian pendekatan terhadap bentuk. Di satu sisi ada penjelasan
metalinguistic eksplisit dan pembahasan tentang kaidah-kaidah dan perkecualian
atau kurikulum yang diatur dan disusun dengan kategori-kategori gramatikal atu
fonologis. Di sisi lain ada (1) referensi incidental implisit pada bentuk (2)
menyimak, yaitu perhatian pembelajar pada komponen-komponen linguitik tertentu
dalam masukan (3) penggabungan bentuk-bentuk ke dalam tugas-tugas komunikatif,
atau yang disebut menggugah kesadaran tata bahasa.
Juga tersirat apakah FFI
merupakan ciri instruksi yang direncanakan atau spontan. Direncanakan maksudnya
pelajaran-pelajaran komunikatif dibangun dalam latihan atau aktivitas tertentu
di mana focus pada bentuk dirancang lebih dahulu. Sedangkan spontan maksudnya,
memungkinkan adanya focus spontan pada bentuk.
Kategori
Perlakuan terhadap Kesalahan
Sebelum berusaha
mengikhtisarkan penelitian tentang FFI, perlu didefinisikan dengan ringkas
berbagai konsep dan istilah paling menonjol yang muncul dalam literartur selama
kurang lebih satu dasawarsa terakhir. Istilah-istilah itu dibagi ke dalam apa
yang oleh Panova dan Lyster disebut tipe-tipe umpan balik dan respon pembelajar
terhadap umpan balik. Contoh-contoh diberikan untuk menunjukan ujaran-ujaran
pembelajar (P) dan guru (G).
Jenis
Umpan Balik
Mengubah:
sebuah
tipe implisit umpan balik korektif yang merumuskan ulang atu memperluas sebuah
ujaran tidak tepat atau tidak sempurna dalam cara halus.
Permintaan
klarifikasi: sebuah pancingan untuk perumusan ulang
atau pengulangan dari murid.
Umpan
balik metalinguistik: memberikan komentar, informasi, atau
pertanyaan terkait dengan ketepatan ujaran murid.
Pancingan:
sebuah teknik korektif yang mendesak pembelajar mengoreksi diri.
Koreksi
eksplisit: sebuah petunjuk jelas kepada murid bahwa suatu bentuk
tidak tepat dan memberikan bentuk yang sudah dikoreksi.
Pengulangan:
guru mengulangi bagian yang tidak tepat ujaran murid, biasanya dengan perubahan
intonasi.
Respon
terhadap Umpan Balik
Tanggap:
ujaran
seorang murid yang segera disusul dengan umpan balik guru, yang merupakan
reaksi guru untuk menarik perhatian pada suatu aspek ujaran awal murid.
Perbaikan:
sebagai hasil dari umpan balik guru, seorang pembelajar mengoreksi ujaran tidak
tepat, melalui perbaikan diri maupun sebagai hasil dari perbaikan rekan.
Pengulangan:
pembelajar mengulangi bentuk tepat sebagai hasil dari umpan balik guru, dan
kadang-kadang menggabungkan itu ke dalam sebuah ujaran lebih panjang.
Efektivitas
FFI
Penelitian tentang isu
efektivitas FFI barangkali mendatangkan pertanyaan daripada jawaban. Mudah
untuk mengelompokan begitu saja setiap perhatian pada bentuk ke dalam kategori
FFI tanpa mempertimbangkan problem-problem metodologis yang kait-mengait. Untuk
pendahuluan bagi isu-isu tersebut, perhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut yang
harus dijawab sebelum orang bisa menyimpulkan apakah FFI menguntungkan atau
tidak.
1. Kebanyakan
penelitian sekitar tiga dasawarsa terakhir mengemukakan bahwa instruksi bahasa
komunikatif pada umumnya, lawan dari “pajanan” sederhana pada sbuah bahasa,
benar-benar bisa meningkatkan pencapaian pembelajar.
2. Sangat
sedikit studi penelitian yang mampu mengidentifikasi tahap-tahap tertentu
dimana pembelajar lebih siap dari pada yang lain-lain untuk menginternalisasi
FFI.
3. Jumlah
potensial komponen linguistik dan tak terbatasnya konteks pembelajaran membuat
pertanyaan ini mustahil dijawab. Tetapi ada satu saran menggiurkan dalam temun
Dekeisar (1995) bahwa instruksi eksplisit lebih sesuai bagi kidah-kaidah
tatabahasa yang mudah dijelaskan dn instruksi implisit lebih berhasil untuk
kaidah-kaidah yang lebih kompleks.
4. Keberhasilan
FFI- dan bahkan setiap bentuk masukan daninteraksi- adalah sebuah produk dari
frekuensi masukan.
5. Penelitian
ekstensif tentang karakteristik, gaya, dan strategi pembelajar mendukung
kesimpulan bahwa pembelajar tertentu jelas lebih diuntungkan drai pada
pembelajar lain oleh FFI. Pembelajar analitis, independen bidang, berorientasi
otak kiri menginternalisasi FFI eksplisit lebih baik dari pada pembelajar
relasional, dependen bidang, berorientasi otak kanan (Jamieson, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
terimakasih postingannya. Sangat bagus!
ReplyDeleteSemoga bermanfaat
Deletekontennya bagus, terimakasih
ReplyDeletecongrats
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Delete