Pengaruh Lintas Linguistik dan Bahasa Pembelajar



PENGARUH LINTAS LINGUISTIK DAN BAHASA PEMBELAJAR

            Hingga saat ini dalam pembahasan prinsip-prinsip pemerolehan bahasa kedua, fokus kita adalah prinsip psikologis (pembelajaran, kognisi, strategi, emosi) dan sosial (budata, sosiolinguistik, pragmatika) pemerolehan bahasa kedua. Variabel-variabel langsung saja psikososial membentuk fondasi bagi pembangunan sebuah pemahaman komprehensif tentang pemerolehan sistem linguistik. Dalam bab ini kita akan berbelok untuk mulai menelaah komponen paling menonjol pemerolehan bahasa kedua: bahasa itu sendiri.

HIPOTESIS ANALISIS KONTRASIF
Pada pertengahan abad ke 20, salah satu upaya paling popular bagi para linguis terapan adalah studi dua bahasa yang di konstraskan. Pada akhirnya tumpukan data komparatif dan kontrastif tentang banyak sekali pasangan bahasa menghasilkan apa yang lazim disebut  Hipotesis Analisis Kontrastif atau contrastive analysis hyphotesis (CAH). Mengakar kokoh dalam pedekatan-pendekatan behavioristik dan strukturalis masa itu , CAH menyatakan bahwa hambatan utama memperoleh bahasa kedua adalah interferensi sistem bahasa pertama dan sistem bahasa kedua.
            Pada saat itu dianggap bahwa perangkat-perangkat linguistic structural, seperti tata bahasa pengisi Slot Frier (1952), akan memungkinkan seorang linguis memaparkan secara akurat dua bahasa yang diamati, dan mencocokkan kedua paparan itu untuk menentukan kontras, atau perbedaan-perbedaan, yang valid diantara keduanya. Behaviorisme menyumbangkan gagasan bahwa perilaku manusia adalah gabungan  dari bagian-bagian terkecil dan komponennya, dan karena itu pembelajaran bahasa teori-teori pembelajaran bahasa bisa di deskripsikam sebagai pemerolehan dari semua unit terpisah itu. Kesimpulan logis dari berbagai asumsi psikologis dan linguistic ini adalah bahwa pembelajaran bahasa kedua pada dasarnya melibatkan upaya mengatasi perbedaan-perbedaan antara kedua sistem linguistic itu  bahasa asli dan bahasa sasaran.
Secara intuitif CAH mempunyai daya tarik dalam apa yang lazim kita amati dalam diri para pembelajar bahasa kedua adanya banyak sekali kesalahan yang bisa dihubungkan dengan transfer negatif  bahasa asal ke bahasa sasaran. Sangat lazim, misalnya, mendeteksi akses lain tertentu dan bisa menyimpulkan, dari pembicaraan pembelajar saja, dari mana dia berasal. Beberapa klaim yang akan kuat dikemukakan mengenai CAH oleh para ahli pengajaran bahasa dan linguis, salah satu yang paling kuat dikemukakan oleh Robert Lado (1957, h. vii) dalam prakata untuk  Linguistics As]cross Cultures : “ Rencana buku ini bersandar pada asumsi bahwa kita bisa memprediksi dan memprediksikan pola-pola yang akan menimbulkan kesalahan dalam pembelajaran, dan pola-pola yang tidak akan menimbulkan kesulitan , dengan membandingkan secara sistematis bahasa dan budaya yang harus dipelajari dengan bahasa dan budaya asal murid . “ Maka, dalam bab pertama buku itu, Lado melanjutkan, “dalam perbandingan antara bahasa asli dan bahasa asing terdapat kunci bagi kemudahan atau kesulitan dalam pembelajaran bahasa asing ……….. unsure-unsur yang mirip dengan bahasa asal (pembelajar) akan mudah baginya dan unsure-unsur yang berbeda akan sulit “ (h. 1-2). Kalim yang tak kalah kuatnya dikemukakan oleh  Banathy, Trager, dan waddle (1966, h. 37): “ Perubahan yang harus terjadi dalam perilaku bahasa seseorang pembelajar bahasa asing bisa disetarakan dengan perbedaan-perbedan antara sruktur bahasa dan budaya asal murid dan struktur bahasa dan budaya sasaran.
Klaim tersebut di dukung oleh apa yang disebut oleh sebagian peneliti sebagai peneliti sebagai metode empiris prediksi. Sebuah model terkenal ditawarkan oleh Stockwell, Bowen, dan Martin ( 1965), mereka mendalilkan apa yang mereka sebut hierarki kesulitan, yang membuat seorang  guru atau linguis bisa meramalkankesulitan relative suatu aspek bahasa sasaran. Untuk sistem fonologis yang dikontraskan, Stockwell dan rekannya mengususlkan 8 kemungkinan tingkat kesulitan. Tingkatan-tingkatan itu didasarkan pada gagasan-gagasan tentang transfer (positif, negative, dan nol), dan tentang pilihan-pilihan obsional dan wajib terhadap fonem-fonem tertentu dalam kedua bahasa yang dikontraskan. Nelalui analisis yang cermat dan sistematis terhadap tingkat-tingkat kesulitan kedua bahasa itu, para linguis terapan mampu mendapatkan sebuah inventaris cukup akurat mengnai kesulitan-kesulitan fonologis yang akan dihadapi oleh seorang pemelajar bahasa kedua.
Stockwell dan rekan-rekannya juga membangun sebagai hierarki kesulitan bagi struktur gramatikal kedua bahasa yang dikontraskan. Clifford Prator (1967) menangkap esensi hierarki gramatikal ini dalam 6 kategori kesulitan. Hierarki prator bisa diterapkan pada komponen-komponen gramatikal maupun fonologis bahasa. 6 kategori ini, dalam urutan kesulitan meningkat, disajikan dibawah. Beberapa contoh menggambarkan pasangan lain bahasa-bahasa yang dikontraskan.

Tingkat 0- Transfer. Tidak ada perbedaan atau kontras antara kedua bahasa. Pembelajar bisa begitu saja mentrasfer (secara positif) sebuah bunyi, struktur, atau item leksikal dari bahasa asal ke bahasa sasaran. Misalnya: vocal cardinal, tata kata, kata-kata tertentu bahasa inggris dan spanyol(mortal, intelegente, arte, americanos)

Tingkat 1-Perpaduan. Dua item dalam bahasa asal berpadu menjadi satu item dalam bahasa sasaran. Ini mengharuskan pembelajar mengabaikan sebuah pembeda yang sudah mereka akrabi. Misalnya: kata ganti pemilik, orang ketiga bahasa inggris menghendaki pembeda gender (his/her), dalam bahasa spanyol tidak (su);seorang penutur bahasa inggris yang belajar bahasa prancis harus mengabaikan perbedaan antara teach dan learn dan hanya menggunakan satu kata apprende dalam bahasa prancis.

Tingkat 2-Subdiferensiasi. Sebuah item dalam bahasa asal tidak ada dalam bahasa sasaran. Pembelajar harus menghindari item itu. Misalnya: orang berbahasa inggris yang belajar bahasa spanyol harus “melupakan” item-item bahasa inggris seperti do sebagai pembawa sebuah bentuk waktu, bentuk-bentuk posesif kata-kata wh-(whose), atau penggunaan some dengan kata benda yang tak bisa dihitung.

Tingkat 3-Reinterpretasi. Sebuah item yang ada dalam bahsa asli diberi bentuk atau distribusi baru. Misalnya: seorang penutur bahasa inggris yang belajar bahasa prancis harus mempelajari distribusi vocal sengau.

Tingkat 4-Oveerdiverensiasi. Sebuah item yang sepenuhnya baru, kalaupun mirip hanya sedikit dengan item bahasa asal, harus dipelajari. Mislanya: seorang penutur bahasa inggris yang belajar bahasa spanyol harus belajar untuk menyertakan kata sandang penentu dalam nomina umum(Man is mortal/El Hombre es mortal), atau, umumnya mempelajari gender gramatikal bahasa spanyol yang inheren dalam nomina.

Tingkat 5-Pembelahan. Satu item dalam bahasa asal menjadi 2 atau lebih dalam bahasa sasaran, mengharuskan pembelajar membuat sebuah pembeda baru. Misalnya: seorang penutur bahasa inggris yang belajar bahasa spanyol harus mempelajari pembeda antara ser dan estar, atau pembeda antara moda indikatif dan pengandaian bahasa spanyol.

DARI CAH KE CLl
            Predikasi kesulitan dengan prosedur kontrastif segera terlihat mempunyai kelemahan mencolok. Untuk satu hal, prosesnya terlalu disederhanakan. Pembeda-pembeda fonetik-fonetik, fonologis, dan gramatikal yang tidak terlihat tidak diterangkan dengan cermat. Kedua, sangat sulit, dengan 6 kategori itu sekalipun, untuk menentukan dengan tepat kategori mana yang pas untuk sebuah kontras tertentu.
            Upaya memprediksi kesulitan dengan analisis kontrastif adalah apa yang oleh Ronald Wardhaught (1970) disebut versi kuat CAH, sebuah versi yang dia yakini sungguh tidak realistis dan mustahil diterapkan. Wardhaught mengatakan ( h .125) bahwa “setidaknya, versi ini mensyaratkan para linguis memiliki satu set karakter umum linguistic yang dirumuskan dalam sebuah teori linguistic menyeluruh yang menggarap secara memadai sintaksis, semantic dan fonologi”.
            Apa yang disebut versi lemah CAH itu hari ini masih termsuk dalam label pengaruh lintas linguistic atau cross-linguistik influence (CLl) ( Odlin, 2003; Kellerman, 1995; Kellerman & Sharwood-Smith, 1986), menganjurkan agar kita semua mengakui peran penting yang dimainkan pengalaman terdahulu dalam setiap aksi pembelajaran, dan bahwa pengaruh bahasa asal sebgagai pengalaman terdahulu tidak boleh diabaikan. Perbedaan antara penekanan saat ini pada pengaruh, bukan prediksi, adalah perbedaan yang penting. Selain fonologi, yang masih merupakan kategori linguistic paling percaya untuk memprediksi performa pembelajar, seperti di ilustrasikan pada permulaan bab ini, aspek-aspek lain bahasa menyodorkan lebih banyak tebak-tebakan. Interferensi sintaksi, leksikal, dan semantic memperlihatkan jauh lebih banyak variasi dikalangan pembelajar ketimbang interverensi pengucapan berbasis psikomotor. Bahkan kategori-kategori gramatikal yang dianggap sederhana seperti tata kata, bentuk waktu, atau aspek ternyata mengandung banyak sekali variasi.
            Kritik awal paling meyakinkan terhadap versi kuat CAH diberikan oleh Whitman dan Jackson(1972), yang melakukan tes empiris terhadap efektivitasi analisis konstrastif sebagai alat memprediksi wilayah-wilayah kesulitan orang jepang yang belajar bahasa inggris. Prediksi dalam 4 kategori analisis kontratif yang masing-masing terpisah (termasuk buatan Stockwell dkk.,1965) diterapkan dalam sebuah tes 40 item tata bahasa inggris untuk menentukan, diawal, kesulitan relative bagi penutur bahasa jepang. Tes itu diberikan kepada 2500 pembelajar jepang yang belajar bahasa inggris dan tidak mengetahui prediksi kesulitan relative tiap item.
            Pukulan lain terhadap versi kuat CAH dilayangkan oleh Orel dan Ziahosseiny(1970), yang mengusulkan apa yang bisa disebut sebagai sebuah versi “perbedaan subtil” CAH berdasarkan studi menarik terhadap kesalahan pengejaan. Bentuk kuat CAH akan memprediksikan bahwa mempelajari sistem tulisan yang sama sekali baru ( tingkat 4 dalam hierarki kesulitan) akan lebih sulit dari pada menginterpretasi ulang ( tingkat 3) kaidah ejaan Orell dan Ziahosseiny mendapati justru sebaliknya yang benar, dan menyimpulkan bahwa “pola-pola yang hanya sedikit berbeda bentuk atau maknanya dalam satu sistem atau lebih, akan menimbulkan kebingungan”(h.186).
            Pembelajran bunyi rangkaian, dan makna, menurut studi Orell dan Ziahosseiny berpotensi sangat sulit diamana pembeda subtil diperlukan baik antara bahasa sasaran dan bahasa asli maupun didalam sasaran bahasa itu sendiri.
            Kesimpulan bahwa prbedaan besar tidak mesti menimbulkan kesulitan besar menggaris bawahi signifikansi kesalahan interalingual( dalam 1 bahasa) (lihat sub berikut dalam bab ini), yang merupakan faktor dalam pembelajaran bahasa kedua sama seperiti kesalahan interlingula( diantara 2 bahasa atau lebih). Bentuk-bentuk dalam suatu bahasa sering dianggap hanya sedikit berbeda dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan besar antara bahasa asal dan bahasa sasaran, tetapi faktor-faktor intralingual bisa menimbulkan beberapa kesulitan terbesar.
            Pada saat yang sama, kita juga harus memahami bahwa CLI adalah sebuah faktor linguistik penting yang berperan dalam pemerolehan sebuah bahasa kedua(Odlin, 2003;Jaszczolt, 1995). CLI melibatkan lebih dari sekedar pengaruh bahasa pertama seseorang pada bahasa kedua;bahasa kedua juga mempengaruhi yang pertama(Pavlenko & Jarvis, 2002). Lebih dari itu, bahasa-bahasa selanjutnya pada orang-orang multilingual saling mempengaruhi dalam berbagai cara. Penelitian khusus tentang CLI dalam bentuk leksikologi, sintaksis, semantic, dan pragmatika kontranstif berlanjut untuk memberi wawasan-wasanan bagi SLA yang tidak boleh direduksi(Odlin, 2003; Sharwoodsmith, 1996;Sheen 1996). Sheen (1996) mendapati, misalnya, bahwa dalam sebuah kursus ESL bagi para penutur bahasa Arab, perhatian eksplisit pada kontras-kontras sintaksis sasaran antara bahasa Arab dan bahasa inggris mengurangi rata-rata kesalahan. Ternyata bentuk kuat CAH terlalu kuat, tetapi bentuk lemahnya barangkali juga terlalu lemah. Penelitian CLI menawarkan pendirian yang lebih moderat.

KEMENCOLOKAN DAN TATA BAHASA UNIVERSAL
            Fred Eckman (2004, 1981, 1977) mendeskripsikan sebuah metode berguna untuk menentukan arah kesulitan, Hipotesis diferensial Kemencolokan (atau dikenal sebagai teori kemencolokan) buah karyanya menjelaskan tingkat relative kesulitan dengan prinsip tata bahasa universal. Celce-Murcia dan Hawkins (1985, h 66) meringkas teori kemencolokan:
            Ia membedakan unsure dari suatu pasangan bentuk atau struktur terkait dengan mengasumsikan bahwa anggota yang mencolok dalam suatu pasangan mengandung sekurang-kurangnya 1 ciri lebih banyak dari pada yang tidak mencolok. Selain itu, anggota tidak mencolok( atau netral) adalah yang mempunyai jangkauan distribusi lebih luas dari pada anggota mencolok. Misalnya, dalam kasus artikel tak tent bahasa inggris (a dan an), an adalah bentuk yang lebih kompleks atau mencolok (mempunyai 1 bunyi tambahan) dan a adalah bentuk tidak mencolok dengan distribusi lebih luas.
            Eckman (1981) menunjukkan bahwa item-item mencolok dalam sebuah bahasa akan lebih sulit diperoleh dari pada yang tidak mencolok, dan bahwa derajat kemencolokan akan sebanding dengan derajat kesulitan. Rutherford (1982)menggunakan teori kemencolokan untuk menjelaskan mengapa tampaknya ada aturan tertentu pemerolehan morfem dalam bahasa inggris: struktur mencolok diperoleh belakangan dibandingkan struktur tak mencolok. Major dan faudree(1996) mendapati bahwa performa fonologis penutur asli bahasa korea yang belajar bahasa inggris mencerminkan prinsip-prinsip universal kemencolokan.
            Alternatif yang masuk akal bagi teori kemencolokan muncul dan dikenal sebagai Model Kompetisi pemerolehan bahasa kedua (Gass & Selinker, 2001), yang mula-mula diusulkan oleh Bares dan MacWhinney (1982). Model kompetesi menyatakan bahwa ketika opsi formal (mislanya, fonologis, sintaksis) untuk menafsirkan makna dengan mengandalkan bahasa pertama sudah habis , dengan sendirinya para pembelajar bahasa kedua mencari kemungkinan-kemungkinan alternative yang “bersaing” untuk menciptakan makna. Karena itu jika mislanya  gramatika bahasa asal gagal “menerjemahkan” suatu ujaran, seseorang pembelajar berpaling pada makna, pengalaman, dan obsi-obsi strategis lain yang bersaing untuk memahami  ujaran dimaksud.
            Teori kemencolokan, prespektif UG, dan Model Kompetisi memberikan pemahaman tentang sulitnya mempelajari bahasa kedua, yang lebih canggih dari pada pemahaman sebelumnya yang kita dapat dari rumusan-rumusan awal CAH, dan lebih sesuai dengan studi-studi mutakhir CLl.

BAHASA PEMBELAJAR
CAH menekankan efek mengganggu bahasa pertama terhadap pembelajar bahasa kedua dan menyatakan, dalam bentuk kuatnya, bahwa pembelajar bahasa kedua terutama, jika buakan semata-mata, adalah sebuah proses pemerolehan item apa saja yang berbeda dari bahasa pertama. Pandangan sempit semacam itu mengabaikan pengaruh intralingual dan strategis dalam pembelajaran. Dalam tahun-tahun belakanganpara peneliti dan guru menjadi semakin paham bahawa pembelajaran bahasa kedua adalah proses kontruksi kreatif, sebuah sistem dimana para pembelajar dengan sadar menguji seluruh hipotesis dengan bahasa sasaran dari sejumlah kemungkinan sumber pengetahuan: pengetahuan tentang bahasa asal pengetahuan terbatas tentang bahasa sasaran itu sendiri, pengetahuan tentang fungsi-fungsi komunikatif bahasa, dan pengetahuan tentang hidup, orang, dan semesta di sekitar mereka. Para pembelajar, dalam menyikapi lingkungan mereka, membangun apa yang bagi mereka merupakan sistem bahasa sah bahasa tersendiri-seprangkat kaidah yang disusun pada saat tertentu yang menertibkan tentang perenang linguistik yang menghadang mereka.
            Pada akhir tahun 1960-an, SLA mulai dikaji dengan cara hampir sama dengan yang dipakai selama beberapa waktu untuk mengkaji pemerolehan bahasa pertama: para pembelajar tidak dipandang sebagai produsen bahasa cacat dan tak sempurna, tetapi sebagai mahluk cerdas yang dan kreatif yang memproses pemerolehan melalui tahapan-tahapan sistematis logis, yang secara kreatif menyiasati lingkungan linguistik mereka ketika menjumpai bentuk dan konteks bermakna. Dengan sebuah proses bertahap trial and eror serta pengujian hipotesis, secara perlahan-lahan dan penuh kejemuan para pembelajar berhasil membangun perkiraan-perkiraan yang kian mendekati sistem yang dipakai oleh para penutur asli suatu bahasa. Sejumlah istilah yang diciptakan untuk menggambarkan perspektif yang menekankan legitimasi sistem bahasa kedua pembelajar. Yang paling terkenal di antaranya adalah antarbahasa, sebuah istilah yang diadaptasi Sekiner (1972) dari istilah “interlingual” Weinreich (1953). Antarbahasa, sebuah sistem bahasa yang memperantarai bahasa asli dengan bahasa sasaran, adalah sistem bahsa pembelajar yang berdiri sendiri.
            Nemser (1971) merujuk kepda fenomena umum yang sama dalam pembelajaran bahasa kedua tetapi menekankan pikiran berkelanjutan terhadap bahasa sasaran dalam sistem aproksimatif yang diajukannya. Corder (1971, h. 151) menggunakan istilah dialek idiosinkratis untuk menyuratkan ide bahwa bahasa si pembelajar adalah unik untuk setiap individu, sehingga kaidah bahasa si pembelajar adalah unik bagi individu yang bersangkutan saja. Walaupun masing-masing sebutan menekankan suatu gagasan tersendiri, keduanya mempunyai konsep bahwa para pembelajar bahasa kedua sedang membentuk sistem linguistik swasembada mereka sendiri. Ini bukan sistem bahasa asal maupun sasaran,melaikan sebuah sistem yang di dasarkan pada upaya yang terbaik para pembelajar untuk menertibkan menyusun stimuli linguistik yang mengepung mereka.himpotesis antar bahasa melahirkan sebuah era benar-benar baru dalam penelitian dan pengejaran bahasa kedua dan menghadirkan sebuah terobosan signifikan dari kungkungan CAH.
Pendekan paling jelas untuk menganalisis antarbahasa adalah mengkaji bicara dan tulisan pembelajar, atau yang kadang-kadang disebut bahasa pembelajar (lightbown & Spada, 1993; James, 1990). Data produksi bisa diamatri secara publik dan cukup mencerminkan kompetesi dasar seorang pembelajar-kompetesi produksi dengan kata lain. Pemahaman terhdap bahasa kedua lebih sulit dikaji karena tidak bisa di amati langsung dan harus disimpulkan dari respon-respon terbuka verbal dan nonverbal, dengan instrumen-instrumen buatan, atau dengan intuisi guru atau peneliti.
            Maka, kajian tentang wicara dan tulisan para pembelajar umumnya adalah kajian tentang kesalahan para pembelajar. Produksi yang “benar“ mendatangkan sedikit informasi tentang sistem linguistik aktual pembelajar, hanya informasi tentang sistem bahasa sasaran yang sudah diperoleh pembelajar.

ANALISTIS KESALAHAN                         
Pembelajaran pada hakikatnya adalah sebuah proses yang melibatkan pembuatan kekeliruan. Kekeliruan, salah penilaian, salah perhitungan, dan asumsi-asumsi tidak tepat membentuk sebuah aspek penting pembelajaran dihampir sebuah keterampilan atau pemerolehan informasi.
            Para peneliti dan guru bahasa kedua menyadari bahwa kekeliruan yang dibuat seseorang dalam proses membangun sebuah sistem bahasa baru ini perlu dianalisis dengan teliti, sebab boleh jadi didalamnya terdapat beberapa kunci untuk memahami proses pemeroleh bahasa kedua (James, 1998). Corder (1967, h. 167) mengatakan: “kesalahan seseorang pembelajar... adalah sinifikan [hal] kesalahan itu memberi para penbeliti bukti tentang bagaimana bahasa dipelajari atau diperoleh, strategi atau prosedur apa yang dipakai pembelajar dalam penemuan bahasa.”



Kekeliruan dan Kesalahan
Untuk menganalisis bahasa pembelajar dalam persepektif yang pas, perlu dibuat sebuah pembedaan antara kekeliruan dan kesalahan, secara teknis merupakan dua fenomena sangat berbeda. Kekeliruan merujuk pada kesalahan performa yang merupakan tebakan acak atau sebuah “Selip”; ini adalah kegagalan memanfaatkan sebuah sistem, yang dikenal dengan tepat. Semua orang membuat kekeliruan, dalam situasi bahasa asal maupun bahasa kedua. Para penutur asli normalnya mampu mengenali dan mengoreksi “ kegagalan” atau kekeliruan semacam itu yang bukan hasil dari kurang nya kompetensi melainkan dari semacam kemacetan sementara atau ketidaksempurnaan dalam proses produksi wicara. keraguan-raguan, selip lidah, ketidakgramatikalan acak,dan kegagalan-kegagalan performa lain dalam produksi penutur asli juga terjadi dalam bicara bahas kedua.kekeliruan,ketika diperhatikan,bisa mengoreksi diri.
Kekeliruan harus dibedakan secara teliti dari kesalahan pembelajar bahasa kedua,kejanggalan dalam bahasa pembelajar bersangkutan yang merupakan manifestasi langsung sebuah sistem yang ya jalankan pada saat itu. Sebuah kesalahan, sebuah penyimpangan gamblang dari bahasa penutur asli dewasa, mencerminkan kompetensi pembelajar.para pembelajar bahasa inggris yang bertanya ”Does John can sing?” kemungkinan besar mencerminkan tingkat kopetensi dimana semua verba menghendaki penempatan terlebih dahulu kata bantu do untuk bentuk tanya. Maka, ini adalah kesalahan, kemungkinan besar bukan sebuah kekeliruan,dan sebuah kesalahan mengungkapkan suatu porsi kompetensi pembelajar dalam bahasa sasaran.
Dapatkah anda menyembutkan perbedaan antara kekeliruan dan kesalahan? Tidak selalu. Sebuah kesalahan tidak bisa dikoreksi sendiri, menurut James (1998,h.83), sedangkan kekeliruan bisa dikoreksi sendiri jika penyimpangan ditunjukan kepada penutur. Tetapi kapasitas pembelajar untuk mengoreksi diri hanya bisa diamati secara objektif jika pembelajar benar-benar mengoreksi diri; karena itu, jika koreksi diri semacam itu tidak ada, kita masih tidak punya sarana untuk mengidentifikasi kesalahan vs.kekeliruan. Maka, bisakah kita berpaling pada frekuensi sebuah bentuk menyimpang sebagai sebuah kriteria? kadang-kadang. Jika, pada satu atau dua kesempatan, seorang pembelajar bahasa inggris mengatakan ”John cans sing” tetapi pada kesempatan lain mengatakan ”John can sing”, sulit menentukan apakah ”cans” itu sebuah kekeliruan atau kesalahan. Tetapi, jika telah lebih jauh terhadap wicara pembelajaran secara konsisten mengungkap ujaran-ujaran seperti ”John wills go”,”John mayes come”, dan seterusnya, dengan amat jarang terjadi penggunaan tepat pada kata bantu orang ketiga tunggal, anda cukup aman menyimpulkan bahwa”cans”,”mayes” dan bentuk-bentuk lain semacam itu adalah kesalahan yang menunjukan bahwa pembelajaran tersebut tidak membedakan modal dari verba-verba lain.tetapi mungkin saja, karna beberapa contoh produksi tepat dalam bentuk ini, pembelajaran itu hampir bisa membedakan kedua tipe verba itu.dengan demikian anda bisa mengapresiasi subjektivitas penentuan perbedaan antara sebuah kekeliruan dan sebuah kesalahan dalam wicara pembelajar.pekerjaan itu selalu mengandung kemungkinan kesalahan asumsi seorang guru atau peneliti.

Kesalahan dalam Analisis Kesalahan
Ada bahayanya terlalu banyak memperhatikan kesalahan pembelajar.Walaupun kesalahan memang mengungkapkan sebuah sistem yang berlaku,guru bahasa di kelas bisa sedemikian sibuk mengamati kesalahan sehingga koreksi ujaran dalam bahasa kedua tidak diperhatikan. Dalam pengamatan dan analisis kita terhadap kesalahan-walaupun benar mengungkap tentang pembelajar-kita harus mewaspadai pemberian perhatian terlalu banyak pada kesalahan dan tidak meluput nilai dorongan positif bagi kejelasan pengungkapan yang merupakan produk kemajuan dan perkembangan pembelajar. Meskipun mengurangi kesalahan adalah kriteria penting bagi peningkatan kecakapan bahasa,tujuan akhir pembelajaran bahasa kedua adalah pencapaian kelancaran komunikatif.
Kelemahan lain dari analisis kesalahan adalah penekanan berlebihan pada data produksi. bahasa adalah berbicara dan mendengarkan, menulis dan membaca. Peluang bagi analisis dan karena itu menjadi mangsa para peneliti,tetapi data pemahaman sama pentingnya dalam mengembangkan pemahaman proses SLA.
            Kita berkembang,dalam analisis terhadap kesalahan pembelajar,untuk membahas Analisis performa atau “analisis antarbahasa”(Celce-Mrucia & Hawkins,1985,h.64),sebuah konsep tak terlalu menungkung yang melakukan pencarian kesalahan secara sehat dalam perspektif lebih luas performa bahasa total pembelajar.meski kita banyak membicarakan analisis kesalahan dalam bab ini,tetap kita harus ingat bahwa kesalahan produksi hanyalah satu bagian kecil dari keseluruhan performa pembelajar.

Identifikasi dan Deskripsi Kesalahan
Salah satu kesulitan lumrah dalam memahami sistem linguistik bahasa pertama maupun kedua adalah pembelajar karena sistem semacam itu tidak bisa diamati langsung. Sistem ini harus disimpulkan dengan menganalisis data produksi dan pemahaman yang membuat pekerjaan ini makin sukar adalah variasi atau ketidakstabilan sistem-sistem pembelajar (Romaine,2003). Sistem terus berada dalam keadaan naik turun ketika arus informasi masuk dan proses penggabungan menyebabkan struktur yang ada harus direvisi. Pengamatan berulang-ulang terhadap seorang sering mengungkapkan data yang tampak tidak terduga dan bahkan bertentangan. Dalam melakukan pekerjaan analisis performa, guru dan peneliti diminta menyimpulkan susunan dan logika dalam sistem yang tidak stabil dan berubah-ubah ini.
            Langkah pertama dalam proses analisis adalah mengenali dan menjelaskan kesalahan.Corder (1971) menyediakan sebuah model untuk mengenali ujaran salah dan janggal dalam sebuah bahasa kedua.Model ini disajikan sebagai skema dalam bagian 9.1. Menurut model Corder,setiap kalimat yang diucapkan pembelajaran dan kemudian ditranskripsikan bisa diperiksa kejanggalannya. Sebuah pembedaan dilakukan sejak awal antara Kesalahan terbuka dan tertutup. Ujaran-ujaran salah yang terbuka sudah pasti tidak gramatikal pada taraf kalimat. Ujaran salah yang tertutup adalah benar secara gramatikal tetapi tidak bisa ditafsirkan dalam konteks komunikasi. Kesalahan tertutup, dengan kata lain, sebetulnya tidak tertutup kalau anda memperhatikan wacana sekitar (sebelum dan sesudah ujaran). ”I’m fine,thank you“ adalah tepat secara tata bahasa, tetapi sebagai tanggapan untuk “Who are you”? Jelas sebuah kesalahan. Istilah yang lebih sederhana dan lebih tepat sasaran kiranya adalah kesalahan “taraf kalimat” dan “taraf wacana”.
            Model Corder dalam bagan 9.1 menunjukan bahwa,baik dalam kesalahan terbuka maupun tertutup,jika menafsiran yang masuk akal bisa dibuat untuk salah satu kalimat, orang harus membentuk ulang kalimat dalam bahasa sasaran, membandingkan rekontruksi itu dengan kalimat janggal semula, lalu menjelaskan perbedaan-perbedaannya.






























Sumber Kesalahan
Setelah menelaah prosedur-prosedur analisis kesalahan yang digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam data produksi pembelajar bahasa kedua, langkah terakhir adalah menentukan sumber kesalahan. Mengapa kesalahan-kesalahan tertentu dilakukan? strategi kognitif dan gaya atau bahkan variabel personalitas apa yang mendasari kesalahan-kesalahan tertentu? Walaupun jawaban-jawaban untuk pertanyaan semacam itu agak spekulatif dalam arti sumber-sumber harus disimpulkan dari data yang ada, dalam pertanyaan-pertanyaan demikian terdapat nilai paling utama dari analisis bahasa pembelajar pada umumnya.dengan upaya mengenali sumber, selanjutnya kita bisa mencoba memahami bagaimana proses kognitif dan afektif pembelajar terkait dengan sistem lingustik dan merumuskan pemahaman utuh kita tentang proses pemerolehan nahasa kedua.

Transfer Interlingual
Sebagaimana kita ketahui transfer interlinguan adalah sumber kesalahan besar bagi semua pembelajar. Tahap permulaan mempelajari sebuah bahasa kedua terutama sangat rawan terhadap transfer interlinguan dari bahasa asal, atau interferensi. Pada tahap-tahap awal ini, sebelum sistem bahasa kedua menjadi familier, bahasa asal adalah satu-satunya sistem linguistik terdahulu yang bisa diandalkan pembelajar. Kita sudah mendengar para pembelajar bahasa inggris mengatakan, ”sheep” untuk “ship”, atau “book of jack” bukannya ”jackbook”; pembelajaran bahasa prancis mungkin mengatakan ”Je sais jean” untuk ” Je connais jean”, dan seterusnya. Semua kesalahan ini bisa dihubungkan dengan transfer interlingual negatif. Walaupun tidak selalu jelas bahwa sebuah kesalahan adalah hasil transfer dari bahasa asal,banyak kesalahan semacam itu yang bisa dideteksi dalam wicara pembelajar. Pengetahuan memadai atau bahkan familiaritas dengan bahasa asal seorang pembelajar tentu memudahkan guru dalam mendeteksi dan menganalisis kesalahan semacam itu.
            Pembelajar bahasa ketiga (dan bahasa-bahasa selanjutnya) menyediakan konteks menarik bagi penelitian. Tergantung pada sejumlah faktor, termasuk keterkaitan linguistik dan kultural bahasa-bahasa dan konteks pembelajaran, ada beragam derajat interferensi interlingual dari bahasa pertama maupun bahasa kedua pada bahasa ketiga, apalagi jika bahasa bahasa kedua dan ketiga terkait erat atau pembelajaran mencoba sebuah bahasa ketiga tak lama setelah permulaan bahasa kedua.

Transfer Intralingual
Salah satu kontribusi besar penelitian pembelajaran bahasa adalah pengenalannya atas sumber-sumber kesalahan yang melabar melampaui kesalahan-kesalahan interlingual dalam pembelajaran  bahasa kedua. kini menjadi jelas bahwa transfer intralingual (dalam bahasa sasaran itu sendiri) adalah faktor utama dalam pembelajaran bahasa kedua.
Transfer intralingual negatif, atau generalisasi berlebihan sudah digambarkan dalam ujaran-ujaran seperti “Does John can sing”? contoh-contoh lain melimpah ujaran seperti “He goed”, “I can don’t know what time is it”. Sekali lagi guru atau peneliti tidak bisa selalu yakin mengenai sumber kesalahan intralingual, tetapi pengamatan sistematis menganai berulang-ulang terhadap data wicara pembelajar sering bisa melenyapkan ambiguitas satu pengamatan tunggal terhadap sebuah kesalahan.
            Analisis kesalahan intalingual dalam sebuah korpus data produksi bisa mejadi sangat komplek. Misalnya, dalam analisis Barry Tailor(1975,h.95) terhadap kalimat-kalimat bahasa inggris yang di buat oleh para pembelajar ESL, upaya0upaya salah utuk memproduksi verba pokok sesudah sebuah kata bantu menghasilkan sembilan tipe kesalahan yang berlainan :
1.    Bentuk past tense verba sesudah sebuah modal
2.    –s present tense dalam sebuah verba sesudah verba sebuah modal.
3.    ing dalam sebuah verba sesudah sebuah modal
4.    Are (untuk be) sesudah wil
5.    Bentuk past tense verba sesudah do
6.    –s present tense dalam sebuah verba sesudah do
7.    –ing dalam sebuah verba sesudah do
8.    Bentuk past tense sebuah verba sesudah be (disisipkan untuk mengganti sebuah modal atau do)
9.    –s present tense dalam sebuah verba sesudah be (disisipkan untuk mengganti sebuah modal atau do)
Dan tentunya ini sebatas pada data tertentu yang di analisis Taylor dan karna itu tidak komplet dalam sebuah kategori gramatikal.

TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA PEMBELAJAR
Para pembelajar sedemikian beraneka ragam dalam upaya mereka memperoleh bahasa kedua hingga tahap perkembangan mereka tidak bisa di seragamkan. Meminjam beberapa wawasan dari sebuah model terdahulu yang diusulkan oleh Corder (1973), akan berguna mempertimbangkan empat tahapan, berdasarkan pengamatan terhadap apa yang dilakukan oleh para pembelajar berkenaan dengan kesalahan saja.
1.    Yang pertama adalah tahapan kesalahan acak, sebuah tahapan yang disebut Corder prasistematik, di mana pembelajar hanya samar-samar mengerti bahwa ada semacam tatanan sistematik untuk kelompok item tertentu.
2.    Pada tahapan kedua, atau tahap muncul, kita menjumpai pembelajar tumbuh secara konsisten dalam produksi linguistik. Ia mulai mencerna sebuah sistem dan menginternalisasi kaidah-kaidah tertentu. Kaidah-kaidah itu mungkin tidak tepat menurut standar bahasa target, tetapi bagaimanapun juga sah dalam benak pembelajar. Tahapan ini dicirikan oleh semacam langkah surut, di mana pembelajar tampaknya sudah menguasai sebuah kaidah atau prinsip lalu mundur ke suatu tahap sebelumnya. Fenomena bergerak dari bentuk tepat ke bentuk tidak tepat lalu kembali ke yang tepat ini disebut pembelajaran bentuk U (Gass & Selinker, 2001).
3.    Tahap ketiga adalah tahap benar-benar sistematis di mana pembelajar sudah mampu memanifestasikan lebih banyak konsistensi dalam produksi bahasa kedua. Walaupun kaidah-kaidah yang tersimpan dalam benak pembelajar masih belum tepat bentuknya, dan sebagian dari mereka mengikuti proses berbentuk U yang disebut di atas, secara internal mereka lebih konsisten dan, tentu saja, mereka makin mendekati sistem bahasa sasaran.
4.    Tahap terakhir, yang oleh sebagian peneliti (Long, 2003, misalnya) disebut stabilisasi,  mirip dengan yang disebut Corder (1973) tahap pascasistematik. Di sini pembelajar mempunyai relatif sedikit kesalahan dan sudah menguasai sistem hingga titik kefasihan dan tak ada masalah dengan makna-makna tersirat. Tahap keempat ini dicirikan oleh kemampuan pembelajar untuk mengoreksi diri.
Harus ditegaskan bahwa empat tahap sistematis yang diuraikan di atas tidak menjelaskan keseluruhan sistem bahasa kedua pembelajar. Akan sulit kita menyatakan misalnya, bahwa seorang pembelajar sedang berada pada tahap muncul secara keseluruhan. Orang mungkin saja berada pada tahap kedua dan seterusnya. Terakhir, kita harus ingat bahwa produksi kesalahan saja adalah ukuran tidak memadai bagi kompetensi keseluruhan. Kebetulan saja kesalahan-kesalahan itu merupakan ciri menonjol antarbahasa si pembelajar bahasa kedua dan menyodori kita bahan untuk analisis kesalahan. Namun ujaran-ujaran yang tepat pun pantas mendapat perhatian kita dan, khususnya dalam proses belajar-mengajar, layak memperoleh dorongan positif.

VARIASI DALAM BAHASA PEMBELAJAR
Persis seperti seorang penutur asli bahasa Inggris terombang-ambing antara ungkapan-ungkapan seperti “it has to be you” dan “it must be you” para pembelajar juga memperlihatkan variasi, kadang-kadang dalam parameter norma-norma yang bisa diterima, kadang-kadang tidak. Suatu variasi dalam bahasa pembelajar bisa dijelaskan dengan apa yang dinyatakan oleh Garbonton (1983) sebagai “penyebaran bertahap” bentuk-bentuk bahasa yang tidak tepat dalam tahap perkembangan muncul dan sistematis. Di kelas, tipe tugas bisa mempengaruhi variasi (Tarone & Parrish,1988). Dan variasi bisa disebabkan, dalam pembelajaran dengan atau tanpa guru, oleh sejauh mana seorang pembelajar dihadapkan pada berbagai norma.
Inti persoalannya adalah apakah pembelajar bisa dan sungguh memperlihatkan derajat variasi luar biasa dalam cara mereka bicara (dan menulis) dalam bahasa kedua. Apakah variasi itu bisa diprediksi? Atau kita mesti menyingkirkan itu semua sebagai “variasi bebas”?. Terkemuka di antara sekian model variabilitas adalah paradigma kontunuum kapabilitas Elaine Tarone (1988) dan model kompetensi variabel Rod Ellis (1994,1986).
Tarone (1988)   mengakui bahwa variasi bebas yang tak sistematik dan variasi individual memang sungguh ada, tetapi ia memilih memfokuskan perhatiannya pada variabilitas kontekstual, yakni sejauh mana konteks linguistik maupun situasional bisa membantu mendeskripsikan secara sistematik apa yang tampak sebagai variasi tak terjelaskan. Tarone mengusulkan empat katogori variasi :
1.    Konteks linguistik
2.    Faktor-faktor pemrosesan psikologis
3.    Konteks sosial
4.    Fungsi bahasa
            Penekanan pada konteks mendorong para peneliti untuk mencermati kondisi-kondisi di mana bentuk-bentuk linguistik tertentu berubah-ubah. Misalnya, anggaplah seorang pembelajar pada suatu saat mengatakan (1) “He must paid for the insurance” dan pada saat yang lain mengatakan (2) “He must pay the parking fee.”
            Salah satu wilayah paling diminati dalam penelitian bahasa adala penelitian untuk melihat perbedaan antara konteks ruang kelas dan situasi alami di luar kelas. Ketika para peneliti menelaah pemerolehan bahasa kedua di kelas (R. Ellis, 2005, 1997, 1990b; Doughty, 2003, 1991; Buczowska & Weist, 1991), tampak jelas bahwa pengajaran tidak hanya meningkatkan rata-rata keberhasilan para pembelajar tetapi juga bahwa konteks ruang kelas itu sendiri menjelaskan banyak sekali variabilitas dalam keluaran pembelajar.
            Bertumpu pada karya Bialystok (1978), Ellis membuat hipotesis tentang gudang “kaidah-kaidah antarbahasa yang berubah-ubah” (h.269) tergantung pada seberapa otomatis kaidah-kaidah itu dan bagaimana mereka dianalisis. Dia menarik garis pembeda tajam antara wacana terencana dan wacana tak terencana untuk mengkaji variasi. Yang disebut pertama menyiratkan kurangnya otomatisitas, dan karena itu mengharuskan pembelajar mengandalkan kaidah-kaidah bahasanya sendiri. Yang belakangan lebih otomatis, karena itu mendorong pembelajar untuk mempelajari seperangkat kaidah lain.
            Kedua model itu mengundang kritik. Gregg (1990) menentang penolakan Tarone maupun Ellis terhadap “paradigma kompetensi homogen” Chomsky. Argumen dan argumen bantahan semacam itu akan berlanjut. Tetapi satu pelajaran yang kita petik dari semua itu jelas: remeh temeh terkecil bahasa pembelajar, betapapun acak atau “beubah-ubah” pada pandangan pertama, bisa sangat “sistematis” andai saja kita terus mengamati.

FOSILISASI ATAU STABILISASI?
            Sangat lazim kita temui dalam bahasa seseorang pembelajar berbagai komponen-komponen salah yang bertahan walaupun ia sudah memiliki penguasaan bahasa yang memadai. Fenomena ini paling terlihat secara fonologis dalam “aksen asing” dalam wicara kebanyakan orang yang mempelajari bahasa kedua setelah masa akil balik, sebagaimana sudah kita ketahui dalam Bab 3. Kita juga sering mengamati kesalahan-kesalahan sintaksis dan leksikal yang bertahan dalam wicara mereka yang menguasai sebuah bahasa dengan baik. Penggabungan relatif permanen bentuk-bentuk linguistik yang tidak tepat ini ke dalam kompetensi bahasa kedua seseorang disebut fosilisasi. Fosilisasi adalah sebuah tahap normal dan alami bagi banyak pembelajar, dan jangan dipandang sebagai semacam akhir, walaupun metafora itu mengingatkan pada situasi membatu yang tidak bisa diubah. Michael Long (2003, h. 251) mengemukakan “lebih relevan ia disebut mengalami stabilisasi, bukan fosilisasi,” yang membiarkan kemungkinan tetap terbuka bagi perkembangan selanjutnya pada suatu waktu.
            Fosilisasi bisa dipandang selaras dengan prinsip-prinsip manusia yang sudah dibicarakan dalam buku ini: pengondisian, penguatan, kebutuhan, motivasi, penentuan nasib sendiri, dan lain-lain. Vigil dan Oller (1976) memberikan penjelasan formal tentang fosilisasi sebagai faktor afektof, positif maupun negatif, dan umpan balik kognitif. Mereka mengamati ada dua jenis informasi yang diteruskan antara sumber (pembelajar) dan audiens (dalam hal ini penutur asli): informasi tentang hubungan afektif antara sumber dan audiens, dan informasi kognitif-fakta, pengandaian, keyakinan. Informasi afektif terutama dikodekan sehubungan dengan mekanisme kinesik seperti gerakan tubuh, nada suara, dan ekspresi wajah, sementara informasi kognitif biasanya disampaikan dengan perangkat-perangkat linguistik (bunyi, frase, struktur, wacana). Umpan balik yang didapat para pembelajar dari audiens mereka bisa positif, netral, diantara itu, atau negatif. Kedua tipe dan tingkat umpan balik disusun disusun di bawah ini :
                        Umpan Balik Afektif
                        Positif              : Teruslah bicara, saya mendengarkan.
                        Netral              : Saya tidak yakin ingin meneruskan percakapan ini.
                        Negatif            : Percakapan ini selesai.

                        Umpan Balik Kognitif
                        Positif              : Saya paham maksud Anda; Jelas.
                        Netral           : Saya tidak yakin apakah saya memahami Anda dengan tepat atau tidak.
                        Negatif            : Saya tidak paham apa yang Anda katakan; tidak jelas.

            Berbagai kombinasi kedua tipe utama umpan balik itu dimungkinkan. Jika orang sekurang-kurangnya tidak didukung dalam upaya mereka berkomunikasi, tak banyak alasan untuk melanjutkan. Jadi, salah satu persyaratan pertama bagi komunikasi bermakna, sebagaimana sudah ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya, adalah peneguhan afektif orang lain.
            Dengan demikian model Vigil dan Oller  menganggap respon afektif positif mutlak diperlukan agar pembelajar terus berusaha berkomunikasi. Maka umpan balik kognitifpun menentukan tingkat internalisasi. Umpan balik negatif atau netral dalam dimensi kognitif akan, dengan prasyarat umpan balik afektif positif, akan mendorong pembelajar untuk mencoba lagi, menyatakan lagi, merumuskan kembali, atau membuat suatu hipotesis berbeda tentang suatu kaidah. Umpan balik positif dalam dimensi kognitif berpotensi menghasilkan penguatan atas bentuk-bentuk yang digunakan dan para pembelajar bisa menyimpulkan bahwa wicara mereka tepat. Item-item yang memfosil, menurut model ini, adalah item-item menyimpang dalam wicara seorang pembelajar yang mula-mula mendapat umpan balik afektif positif (“Teruslah bicara”), lalu umpan balik kognitif positif (“Saya paham”), menguatkan bentuk bahasa yang tidak tepat. Menarik bahwa internalisasi bentuk0bentuk tidak tepat ini terjadi dalam proses yang sama dengan internalisasi bentuk-bentuk tepat. Kita sebut yang terakhir ini, tentu saja “pembelajaran”, tetapi unsur-unsur masukan, interaksi, dan umpan balik yang sama hadir. Ketika bentuk-bentuk tepat diproduksi, umpan balik yang berbunyi “Saya betul-betul memahami Anda” menguatkan bentuk-bentuk itu.
            Kita perlu berhati-hati dalam menafsir dan menerapkan model Vigil dan Oller. Walaupun model itu sangat membantu, misalnya, dalam memahami pengaruh perlakuan terhadap kesalahan, namun, seperti yang akan segera kita lihat dalam sub berikut, tak memadai jika kita hanya menganggap penting umpan balik semata. Selinker dan Lamendella (1979) melihat bahwa model Vigil dan Oller bertumpu pada gagasan umpan balik ekstrinsik, dan bahwa faktor-faktor lain yang internal bagi pembelajar menyebabkan fosilisasi. Pembelajar bahasa yang sukses cenderung bertanggung jawab atas pencapaian mereka sendiri, aktif mencari sarana pemerolehan. Walhasil, fosilisasi bisa jadi adalah hasil dari ada atau tidak adanya faktor-faktor penggerak internal, usaha berinteraksi dengan orang lain, pemfokusan sadar pada berbagai bentuk, dan investasi strategis seseorang dalam proses pembelajaran.
            Isu lebih jauh dan lebih serius tentang fosilisasi adalah menyangkut kesahihan teoritisnya. Dalam tinjauannya, Long (2003) menyimpulkan bahwa stabilisasi adalah konsep yang lebih tepat untuk diterapkan kepada para pembelajar yang perkembangan bahasanya tampaknya mencapai “fase stabil”. Long berpendapat bahwa fosilisasi paling banter adalah asumsi, sebab tidak ada cukup data untuk mendukung itu, juga tidak ada analisis yang memadai untuk data itu.
            Jadi, Anda barangkali terheran-heran, apa yang kita punya, fosilisasi atau stabilisasi? Perdebatan di kalangan peneliti akan berlangsung cukup lama, tetapi demi memahami bagaimana dan mengapa banyak pembelajar bahasa kedua mencapai tahap tidak berkembang atau bahkan surut-istilah lain yang dipopulerkan Selinker (1972)-kita tahu bahwa fenomena semacam itu bisa dijelaskan secara teoritis dengan pengetahuan kita tentang pembelajaran manusia pada umumnya. Semua pembelajar di semua bidang melewati jalur kemajuan yang tidak rata, dan dalam banyak hal, khususnya dalam tahap lanjut pembelajaran, jalur itu menjadi datar untuk waktu cukup lama. Kadang-kadang fase stabil itu disebabkan oleh faktor-faktor motivasional, entah itu intrinsik atau ekstrinsik atau keduanya, dan kala yang lain karena variabe-variabel lain: usia, kemahiran, masukan, perhatian dan konteks sosial. Untuk saat ini, konsep stabilisasi tampaknya menjadi landasan yang lebih aman-ini “meringankan beban teori SLA” (Long, 2003, h.521)



KESALAHAN DI KELAS : SEJARAH RINGKAS
Secara historis, perlakuan terhadap kesalahan di kelas bahasa merupakan topic panas. Pada masa Metode Audiolingual, kesalahan dipandang sebagai fenomena yang harus dihindari dengan belajar ekstra, menghafal dan “berhasil” sejak awal. Lalu, beberapa metode (Pembelajaran Bahasa Komunitas, dan Pendekatan Alami) menganut pendekatan laissez-faire terhadap kesalahan, dengan asumsi bahawa proses alami dalam ciri pembelajar pada akhirnya akan menuntun pada pemerolehan. Pendekatan-pendekatan CLT, termasuk instruksi berbasis tugas, kini cenderung mendukung keseimbangan optimal antara perhatian pada bentuk (dan kesalahan) dan perhatian pada makna.
Model umpan balik komunikasi Vigil dan Oller (1976) menawarkan salah satu model pertama untuk mendekati kesalahan di kelas bahasa. Implikasi paling bermanfaat atas model Vigil dan Oller bagi teori perlakuan terhadap keslahan adalah bahwa umpan balik kognitif harus optimal agar efektif. Terlalu banyak umpan balik kognitif negative-rentetan interupsi, koreksi, dan perhatian terbuka pada abnormalitas bentuk- sering membuat para pembelajar mematikan usaha mereka untuk berkomuniksi. Di pihak lain, terlalu banyak umpan balik kognitif – kesediaan guru pendengar membiarkan keslahan tidak dikoreksi, memaklumi ketika tidak diperlukan pemakluman- bisa berfungsi menguatkan kesalahan penutur pmbelajar.
Ketika penutur mendapat dorongan “positif” atau “lampu hijau” mereka akan terdorong untuk menginternalisasi pola-pola wicara tertentu. Umpan balik korektif bisa tetap “positif” dalam Skinnerian. Tetapi, mengabaikan perilaku salah punya pengaruh terhadap pendorong positif, oleh sebab itu guru harus sangat cermat untuk mengetahui kemungkinan konsekuensi-konsekuensi pendorong umpan balik netral.
Dalam sebuah artikel praktis tentang perlakuan terhadap kesalahan, Hendrickson (1980) menyarankan para guru untuk mencoba mengerti perbedaan antara keslahan global dan lokal. Kesalahn lokal umumnya tidak perlu dikoreksi karena maksudnya jelas, dan koreksi bisa menyela pembelajar dalam arus komunikasi produktif. Sedangakan kesalahan global perlu diperlakukan dengan suatu cara karena kalu dibiarkan pesannya bisa tetap membingungkan.
Seorang guru yang sensitive dan perlu pengertian harus menjadika kelas bahasa sebuah kombinasi terbaik antara kesantunan berlebihan dunia nyata dan harapan pembelajar ke kelas, yaitu bahwa setiap kesalahan harus dikoreksi. Kathen Bailey (1985), misalnya menyarankan agar guru bahasa mempunyai opsi dasar ketika berhadapan dengan muridyang melakukan keslahan, termasuk melakukan penanganan atau mengabaikan kesalahan itu, memperlakukannya sekarang atau nanti, merangsang para pembelajar lain untuk memberikan penanganan, dan menguji efektivitas penanganan. Bailey (1985) juga mengatakan bahwa guru kemudian mempunyai beberapa “komponen” dalam opsi-opsi itu seperti hanya menunjukan fakta bahwa sebuah kesalahan terjadi, memperagakan sebuah koreksi, atau menunjukan tipe kesalahan yang terjadi.

INSTRUKSI BERFOKUS BENTUK
Karena focus instruksi ruang kelas telah bergeser dari penekanan pada bentuk-bentuk bahasa menuju perhatin pada bahasa fungsional dalam konteks komunikatif, persoalan mengani instruksi berfokus bentuk (FFI) semakin penting. Salah satu definisi Spada yaitu “setiap upaya pedagogis yang digunakan untuk menarik perhatian pembelajar pada bentuk bahasa baik secara implisit maupun eksplisit”.
Tersirat dalam definisi itu serangakaian pendekatan terhadap bentuk. Di satu sisi ada penjelasan metalinguistic eksplisit dan pembahasan tentang kaidah-kaidah dan perkecualian atau kurikulum yang diatur dan disusun dengan kategori-kategori gramatikal atu fonologis. Di sisi lain ada (1) referensi incidental implisit pada bentuk (2) menyimak, yaitu perhatian pembelajar pada komponen-komponen linguitik tertentu dalam masukan (3) penggabungan bentuk-bentuk ke dalam tugas-tugas komunikatif, atau yang disebut menggugah kesadaran tata bahasa.
Juga tersirat apakah FFI merupakan ciri instruksi yang direncanakan atau spontan. Direncanakan maksudnya pelajaran-pelajaran komunikatif dibangun dalam latihan atau aktivitas tertentu di mana focus pada bentuk dirancang lebih dahulu. Sedangkan spontan maksudnya, memungkinkan adanya focus spontan pada bentuk.

Kategori Perlakuan terhadap Kesalahan
Sebelum berusaha mengikhtisarkan penelitian tentang FFI, perlu didefinisikan dengan ringkas berbagai konsep dan istilah paling menonjol yang muncul dalam literartur selama kurang lebih satu dasawarsa terakhir. Istilah-istilah itu dibagi ke dalam apa yang oleh Panova dan Lyster disebut tipe-tipe umpan balik dan respon pembelajar terhadap umpan balik. Contoh-contoh diberikan untuk menunjukan ujaran-ujaran pembelajar (P) dan guru (G).

Jenis Umpan Balik
Mengubah: sebuah tipe implisit umpan balik korektif yang merumuskan ulang atu memperluas sebuah ujaran tidak tepat atau tidak sempurna dalam cara halus.
Permintaan klarifikasi: sebuah pancingan untuk perumusan ulang atau pengulangan dari murid.
Umpan balik metalinguistik: memberikan komentar, informasi, atau pertanyaan terkait dengan ketepatan ujaran murid.
Pancingan: sebuah teknik korektif yang mendesak pembelajar mengoreksi diri.
Koreksi eksplisit: sebuah petunjuk jelas kepada murid bahwa suatu bentuk tidak tepat dan memberikan bentuk yang sudah dikoreksi.
Pengulangan: guru mengulangi bagian yang tidak tepat ujaran murid, biasanya dengan perubahan intonasi.

Respon terhadap Umpan Balik
Tanggap: ujaran seorang murid yang segera disusul dengan umpan balik guru, yang merupakan reaksi guru untuk menarik perhatian pada suatu aspek ujaran awal murid.
Perbaikan: sebagai hasil dari umpan balik guru, seorang pembelajar mengoreksi ujaran tidak tepat, melalui perbaikan diri maupun sebagai hasil dari perbaikan rekan.
Pengulangan: pembelajar mengulangi bentuk tepat sebagai hasil dari umpan balik guru, dan kadang-kadang menggabungkan itu ke dalam sebuah ujaran lebih panjang.

Efektivitas FFI
Penelitian tentang isu efektivitas FFI barangkali mendatangkan pertanyaan daripada jawaban. Mudah untuk mengelompokan begitu saja setiap perhatian pada bentuk ke dalam kategori FFI tanpa mempertimbangkan problem-problem metodologis yang kait-mengait. Untuk pendahuluan bagi isu-isu tersebut, perhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut yang harus dijawab sebelum orang bisa menyimpulkan apakah FFI menguntungkan atau tidak.
1.    Kebanyakan penelitian sekitar tiga dasawarsa terakhir mengemukakan bahwa instruksi bahasa komunikatif pada umumnya, lawan dari “pajanan” sederhana pada sbuah bahasa, benar-benar bisa meningkatkan pencapaian pembelajar.
2.    Sangat sedikit studi penelitian yang mampu mengidentifikasi tahap-tahap tertentu dimana pembelajar lebih siap dari pada yang lain-lain untuk menginternalisasi FFI.
3.    Jumlah potensial komponen linguistik dan tak terbatasnya konteks pembelajaran membuat pertanyaan ini mustahil dijawab. Tetapi ada satu saran menggiurkan dalam temun Dekeisar (1995) bahwa instruksi eksplisit lebih sesuai bagi kidah-kaidah tatabahasa yang mudah dijelaskan dn instruksi implisit lebih berhasil untuk kaidah-kaidah yang lebih kompleks.
4.    Keberhasilan FFI- dan bahkan setiap bentuk masukan daninteraksi- adalah sebuah produk dari frekuensi masukan.
5.    Penelitian ekstensif tentang karakteristik, gaya, dan strategi pembelajar mendukung kesimpulan bahwa pembelajar tertentu jelas lebih diuntungkan drai pada pembelajar lain oleh FFI. Pembelajar analitis, independen bidang, berorientasi otak kiri menginternalisasi FFI eksplisit lebih baik dari pada pembelajar relasional, dependen bidang, berorientasi otak kanan (Jamieson, 1992).


DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Comments

Post a Comment

Popular Posts