Intertekstualitas puisi “Perarakan Jenazah” karya Hartoyo Andangjaya dengan puisi “Berjalan di Belakang Jenazah” karya Sapardi Djoko Damono



       Oleh : Melyah Dwi Lestari

Secara intertekstual puisi “Perarakan Jenazah” Hartoyo dalam beberapa hal menunjukkan persamaannya dengan puisi “Berjalan di Belakang Jenazah”. Ada gagasan dan ungkapan Hartoyo yang dapat diruntut kembali dalam puisi Sapardi tersebut. Begitu juga idenya. Meskipun dalam pengolahannya keduanya memiliki perbedaan satu sama lainnya yang menyebabkan tiap-tiap puisi tersebut menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah yang dihadapi.
Dalam analisis ini persamaan dan perbedaan antara keduanya terdapat dalam struktur fisik dan struktur batin. Persamaan dalam struktur fisiknya, antara lain : lambang benda, lambang suasana, kata konkret, imaji penglihatan, imaji gerak, bahasa figuratif (majas personifikasi), dan tipografi. Sedangkan dalam struktur batinnya hampir semuanya mempunyai persamaan, dari tema, nada dan suasana, perasaan juga amanat. Perbedaan antara puisi tersebut hanya ada beberapa dalam struktur fisik, yaitu : makna kias, lambang lainnya, dan dalam verifikasi (rima). Sedangkan dalam struktur batinnya tak memiliki perbedaan. Karena semuanya hampir memiliki kesamaan, baik ide/gagasannya maupun maknanya.
Di antara kedua puisi tersebut yang bisa dikatakan menjadi hipogramnya adalah puisi “Berjalan di Belakang Jenazah”. Karena kita dapat mengetahui puisi tersebut menjadi hipogram yaitu dengan melihat tahun pembuatan puisi tersebut. Sedangkan puisi “Perarakan Jenazah” karya Hartoyo dikatakan puisi transformasinya, karena puisi tersebut muncul setelah puisi Sapardi telah ada sebelumnya. 
Namun, karya yang menjadi hipogramnya belum tentu sepenuhnya memiliki kesempurnaan. Hal inilah yang dijadikan pengarang lain untuk selalu berusaha menciptakan kebaruan. Tetapi tak mungkin meninggalkan sama sekali konvensi sajak yang sudah ada. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi, antara yang lama dan yang baru ( Teeuw, 1980:12)

Berikut puisinya :
PERARAKAN JENAZAH
Karya Hartoyo Andangjaya

Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam
dicekam bayangan hitam
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan

(Buku Puisi, 1973)

   BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
Karya Sapardi Djoko Damono

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

(DukaMu Abadi, 1969)
A.     Persamaan pada puisi Perarakan Jenazah dan Berjalan di Belakang Jenazah
1)   Struktur Fisik
a.    Pemilihan Kata Khas
a)    Lambang

Lambang
Puisi Perarakan Jenazah
Puisi Berjalan di Belakang Jenazah

Benda
·      Kereta Mati
·      Rumah Tumpangan
·      Jam mengerdip
·      Jam mengambang

Suasana
·      Dicekam bayangan hitam
·      Angin pun reda
·      Siang menepi

Warna
·      Hitam
·      Memerah

                         -

Dalam lambang, ada lambang benda dan lambang suasana yang memiliki persamaan. Sedangkan lambang lainnya, penyair menuangkan gagasannya masing-masing ke dalam karyanya. Ini membuktikan bahwa puisi yang diduga sebagai hiporgam tidak sepenuhnya di konvensi ke dalam puisi yang memiliki hubungan intertekstualitasnya.

Ø Lambang Benda
·      Kereta Mati              : keranda
·      Rumah Tumpangan  : tempat hidup didunia

·      Jam                           : menunjukkan waktu

Ø Lambang Suasana
·      Dicekam bayangan hitam     : Suasana sepi dengan kesedihan (haru)

·      Angin pun reda                   : melambangkan kesibukan yang berhenti.
·      Siang menepi                       : tepi siang adalah sore



b)      Kata Konkret
Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam
dicekam bayangan hitam
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan


berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Di dalam kata konkret, keduanya sama-sama menggunakan kata-kata yang mengacu pada keadaan mengantar jenazah yang berarti kesedihan disertai dengan perenungan bagi keluarga yang ditinggalkannya. Sehingga tampak persamaan ide dan apa yang disampaikan dalam puisi tersebut.
b.    Imaji
a)    Imaji penglihatan

Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

depan kami kereta mati bergerak pelan

bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan


di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Dalam bait puisi perarakan jenazah diatas, penyair menunjukan bahwa ia sedang mengiring jenazah. Di depannya kereta mati (keranda) bergerak pelan. Orang-orang yang ditinggalkan khususnya perempuan (dara-dara) sangat diliputi kesedihan yang mendalam, namun itu juga menjadi penyemangat mereka untuk hidup dalam kesemangatan dan manfaat, itu terlihat dari kata di mata mereka, di bibir mereka, hidup memerah bermerkahan. Kemudian dalam puisi berjalan di belakang jenazah, penyair juga menunjukkan kesedihan dengan menggunakan makna kias di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala, di atas: matahari kita, matahari itu juga. Hal tersebut jika kita pahami lebih mendalam, kata pohon menundukkan kepala diibaratkan dengan suasana kelabu atau kesedihan yang sedang dialami sanak keluarga atau orang-orang terdekat yang ditinggalkan.

b)   Imaji gerak
Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam


berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip


Dalam bait puis di atas penyair jelas sekali menggunakan kata mengiring untuk menggambarkan perarakan atau mengantarkan (jenazah). Bergerak pelan untuk menggambarkan kesedihan dan renungan akan kehidupan yang kekal. Sedangkan pada kata berjalan merunduk diam adalah perenungan (bagi orang yang masih hidup) bahwa mereka pun akan meninggal. Begitu juga kata-kata yang digunakan oleh sapardi, dalam bait pertama baris pertama jelas sekali menunjukkan suasana mengiring jenazah seperti yang dikemukakan dalam puisi perarakan jenazah. Hal ini secara jelas menggambarkan hubungan intertekstualitas antara kedua puisi tersebut.

c.    Bahasa Figuratif
a)      Majas Personifikasi

Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

makam muram awan muram
   menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang

Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan


tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga


 Perarakan Jenazah ini, Hartoyo lebih banyak menggunakan makna kias untuk menggambarkan perasaannya. Tetapi hal ini tidak mengurangi nilai yang terkandung di dalamnya. Pembaca tetap dapat mengetahui maksud dari puisi tersebut. Bahasa figuratif yang digunakan pengarang adalah personifikasi. Terlihat dari kata makam muram awan muram yang memiliki arti bukan awan atau makam yang muram/mendung tetapi mereka yang ditinggalkan (yang masih hidup) mengalami kesedihan yang mendalam. Sedangkan dalam kata kami lempar pandang yang sebenarnya bukan pandangan yang bisa dilempar tetapi lebih menggambarkan memalingkan pandangan untuk mengalihkan kesedihan. Demikian pada kata isi jarak, jarak bukanlah suatu benda yang tentunya dapat diisi, maksud isi jarak adalah menata hidup kembali selagi masih ada kesempatan sebelum ajal menjemput yang menyambung dari makna bait sebelumnya.
Dalam puisi Berjalan di Belakang Jenazah ini, bahasa figuratif yang digunakan pengarang juga adalah majas personifikasi. Terlihat dari kata “siang menepi” yang memiliki arti tepi siang adalah sore. Dan sore, biasa melambangkan akhir usia seseorang . jika disatukan dengan makna kalimat setelahnya, menjadi “ketika usia sudah menepi/berakhir, maka jalan duniawi yang selama ini kita tempuh, yang terasa begitu menghimpit, menjadi lapang. Sedangkan dalam kata “Disamping: pohon demi pohon menundukkan kepala” disini memunculkan kesan duka. Menundukkan kepala, biasa terjadi ketika manusia melihat iringan jenazah, berdoa, atau sedang sedih. Pohon yang besar, terkadang terlihat juga sedang menunduk. Ini menggambarkan betapa suasana hati sang penyair, sehingga di kanan-kiri jalan, pohon turut berduka bersamanya.

d.   Tipografi
Tipografi yang digunakan dalam puisi “perarakan jenazah” adalah dari kiri ke kanan, namun tidak teratur baris dalam per baitnya. Sedangkan Tipografi yang digunakan dalam puisi “berjalan di belakang jenazah”  adalah dari kiri ke kanan, dan teratur baris dalam per baitnya (4 baris dalam per baitnya).


PERARAKAN JENAZAH
Karya Hartoyo Andangjaya

 Kami mengiring jenazah hitam
 depan kami kereta mati bergerak pelan
 orang-orang tua berjalan merunduk diam
 dicekam bayangan hitam
 makam muram awan muram
 menanti perarakan ini di ujung jalan

 tapi kami selalu berebut kesempatan
 kami lempar pandang
 kami lempar kembang
 bila dara-dara berjengukan
 dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
 lihat, di mata mereka di bibir mereka
 hidup memerah bemerkahan

 Begitu kami isi jarak sepanjang
 antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan

            (Buku Puisi, 1973)



BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
Karya Sapardi Djoko Damono

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

(DukaMu Abadi, 1969)



2)   Struktur Batin
a.    Tema
        Kedua puisi yang diduga memiliki hubungan intertekstualitas ini memiliki kesamaan dalam temanya. Hal ini ditunjukkan puisi “perarakan jenazah” pada bait pertama baris ke 1 dan baris ke 3 yang memiliki tema kesedihan dan perenungan. Sebaliknya dalam puisi berjalan di belakang jenazah” tema demikian juga ditunjukkan dalam bait kedua baris ke 2 dan baris ke  4 yaitu yang memiliki makna begitu hampanya hidup kita, sedangkan kematian begitu mudah terjadi, dan sekarang sedang ada di hadapan kita.

b.      Nada dan suasana
        Nada yang digunakan oleh penyair dalam puisi “perarakan jenazah” adalah nada pasrah, karena puisi ini menceritakan kematian yang dialami seseorang sebagai kodrat atau ketetapan yang telah digariskan Tuhan. Namun kematian ini tidak dijadikan sebagai kesedihan yang berkepanjangan, tetapi sebagai media perenungan bagi kita yang masih hidup di dunia ini. Sedangkan suasana yang dirasakan pembaca adalah suasana sedih sekaligus menyikapi hal tersebut sebagai perenungan.
        Demikian nada dan suasana yang digunakan sapardi dalam puisi “berjalan di belakang jenazah” Nada yang digunakan oleh penyair adalah nada sedih, karena puisi ini menceritakan situasi ketika ia mengantarkan jenazah. Situasi menyedihkan menyeruak dimana-mana. Namun penyair menegaskan pada kita bukan masalah duka cita, tangis, atau harunya mengantar jenazah. Tetapi, pelajaran apa, kesadaran apa yang muncul setelah kita mengantar jenazah. Sedangkan suasana yang dirasakan pembaca adalah suasana sedih sekaligus menyikapi hal tersebut sebagai perenungan.

c.       Perasaan
        Perasaan yang diekspresikan Hartoyo dalam puisinya adalah haru, telah di paparkan pada bait pertama. Semua yang diungkapkan pengarang dalam bait tersebut semuanya menggambarkan kesedihan. Adapun pada bait selanjutnya, pengarang berusaha menampilkan sisi lain selain kesedihan. Yaitu menerima takdir dengan menghentikan kesedihan agar tidak berkepanjangan, tetapi memandang bahwa hal tersebut sebagai perenungan bagi yang ditinggalkan.
        Demikian juga, perasaan yang diekspresikan sapardi dalam puisinya. Iapun mengekspresikan perasaan haru. Telah jelas dipaparkan pada bait pertama baris pertama menunjukkan adanya kesedihan dalam berjalan dibelakang jenazah, kemudian pada bait kedua baris pertama dan keduanya juga menunjukkan kesedihan dan berduka. Namun semuanya dibumbui perasaan untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, melainkan perenungan akan kehidupan setelah meninggal.

d.      Amanat
        Amanat yang ingin disampaikan penyair adalah sikap untuk tidak bersedih berkepanjangan melainkan tetap dapat menjalankan kehidupan sebagai mana mestinya dengan sebaik-baiknya sebelum ajal menjemput.
        Yang menjadi pesan utama dalam puisi berjalan di belakang jenazah adalah  bukan situasi ketika mengantarkan jenazah, tetapi jam mengambang diantaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya. Maksud Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya adalah bukankah seringkali, hanya ketika kita melihat jenazah, dan mengantarkannya, kita baru tersadar: “tak terduga, hidup kita sangat sia-sia dan sebentar”. Kosong adalah hampa. Sia-sia. Diksi menghirupnya, adalah perlambang nafas kita. Nafas, adalah kehidupan. Tak terduga betapa sia-sia ketika kita hidup. Jadi amanatnya adalah ketika mengantarkan jenazah, kita merenungi bagaimana hidup kita sebelum kita mendapat giliran untuk di panggil menghadapNya.

Terlihat dalam kutipan puisi :

PERARAKAN JENAZAH
Karya Hartoyo Andangjaya

 Kami mengiring jenazah hitam
 depan kami kereta mati bergerak pelan
 orang-orang tua berjalan merunduk diam
 dicekam bayangan hitam
 makam muram awan muram
 menanti perarakan ini di ujung jalan

 tapi kami selalu berebut kesempatan
 kami lempar pandang
 kami lempar kembang
 bila dara-dara berjengukan
 dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
 lihat, di mata mereka di bibir mereka
 hidup memerah bemerkahan

 Begitu kami isi jarak sepanjang
 antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan

            (Buku Puisi, 1973)



BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
Karya Sapardi Djoko Damono

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

(DukaMu Abadi, 1969)



B.     Perbedaan pada puisi Perarakan Jenazah dan Berjalan di Belakang Jenazah
1.    Struktur Fisik
a.    Pemilihan Kata Khas
a)    Makna Kias
Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

 Kami mengiring jenazah hitam
 depan kami kereta mati bergerak pelan


Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan


berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Dalam kedua puisi diatas, jelas sekali dipaparkan perbedaan yang nyata. Karena makna kias menunjukkan makna yang diekspresikan pengarang lewat kata-katanya. Sedangkan dalam setiap puisi tentu berbeda dalam pemilihan diksinya. Makna kias yang terdapat dalam puisi perarakan jenazah adalah kereta mati dan rumah tumpangan. Keduanya memiliki arti keranda mayat dan tempat hidup di dunia.
Sedangkan dalam puisi berjalan di belakang jenazah memiliki makna kias jam mengerdip, pohon menundukkan kepala, dan jam mengambang. Semua kata itu memiliki makna Jam mengerdip :  jam terus berjalan, dan pergerakan jarum detik seolah seperti berkerdip mata, karena cepatnya dan patah-patah, Pohon menundukkan kepala : menggambarkan betapa suasana hati sang penyair, sehingga di kanan-kiri jalan, pohon turut berduka bersamanya dan Jam mengambang : mengartikan bahwa kita juga sedang diburu waktu, dibayang-bayangi dentang jam dinding setiap hari, dan lagi-lagi: memiliki kemungkinan untuk mati.
b.    Lambang
Lambang
Puisi Perarakan Jenazah
Puisi Berjalan di Belakang Jenazah

Benda
·      Kereta Mati
·      Rumah Tumpangan
·      Jam mengerdip
·      Jam mengambang

Suasana
·      Dicekam bayangan hitam
·      Angin pun reda
·      Siang menepi

Warna
·      Hitam
·      Memerah

                         -

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ada lambang benda dan lambang suasana yang memiliki persamaan seperti yang telah dipaparkan diatas. Kemudian lambang lainnya yaitu lambang warna, pengarang mengekspresikan sesuai dengan gagasannya masing-masing. Kita lihat dalam puisi hartoyo, ia menggunakan lambang warna. Sedangkan dalam puisi sapardi, ia tidak menggunakan lambang warna.

Lambang
Puisi Perarakan Jenazah
Puisi Berjalan di Belakang Jenazah

Warna
·      Hitam
·      Memerah

                         -

Makna :
Ø Lambang Warna
Hitam                : kesedihan
Memerah          : ada gairah yang diingatkan kembali. (untuk lebih menata
kehidupan, sebelum masanya menjemput yaitu kematian)

c.    Rima

Perarakan Jenazah

Berjalan di Belakang Jenazah

Kami mengiring jenazah hitam
kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam
dicekam bayangan hitam
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan


berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Rima yang digunakan dalam puisi “perarakan jenazah” adalah rima patah. Pada bait pertama adalah a-b-a-a-a-b. Pada bait kedua adalah a-b-b-a-a-c-a. Dan pada bait ketiga adalah a-b.
Sedangkan dalam puisi “berjalan di belakang jenazah” Perimaan yang timbul pada bait kedua menarik untuk ditinjau, berpola a-a-a-a (rima terus). Ini membuat kesan aliran harmoni dalam tuturan kata-katanya. Semua simbol yang digunakan, imaji,  diksi, disatukan dengan rima ini, untuk menimbulkan satu kesan perasaan: bukan dukacita tetapi perenungan hidup.
Meski pada bait pertama rima kurang terasa, tetapi betapa kayanya dengan harmoni, menggunakan rima yang “disembunyikan” mengelabui kita:

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

betapa kayanya sajak ini dengan rima, dan memang cirri khas sapardi, menggunakan kesatuan rima dengan gaya yang sangat harmonis dan halus. Rima, bukan masalah perulangan bunyi saja, tetapi penggunaan perulangan bunyi tersebut untuk menghasilkan harmoni yang indah.

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

Pada bait kedua, perimaan yang lebih menarik terjadi. Ada pengulangan kata-kata, yang
menghasilkan bukan sekedar pengulangan bunyi, tetapi penguatan makna hingga sampai pada hati pembacanya.

Demikian beberapa persamaan dan perbedaan dalam hubungan intertekstualitas antara puisi “perarakan jenazah” karya Hartoyo Andangjaya dengan puisi “berjalan di belakang jenazah” karya Sapardi Djoko Damono.

Comments

Popular Posts