Menganalisis Novel Tak Putus Dirundung Malang Menggunakan Pendekatan Psikologi



Judul Novel Tak Putus Dirundung Malang, Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Mengangkat Kisah Sesorang dua Anak yatim piatu yang tidak pernah putus dari kemalangan, didalam Novel tersebut banyak mengandung unsur psikologi dari tokoh-tokohnya atau konflik batin pada setiap tokohnya, Saya mengkaji Novel tersebut selain ceritanya menarik untuk dibaca didalamnya juga banyak diangkat mengenai proses bagaimana menjalani kehidupan serta konflik yang terjadi sepanjang cerita, Tokoh utama yang ada didalam cerita ini adalah seorang anak laki-laki bernama Mansyur, dia mempunyai adik perempuan bernama Laminah, kedua anak tersebut tidak mempunyai orang tua, ibunya meninggal sejak Mansyur  berumur tiga tahun, Ayah mereka bernama Syahbudin dia meninggal setelah empat tahun kepergian ibunya, dikarenakan penyakit yang sangat aneh, sewaktu masih kecil mereka tinggal didusun ketahun bersama orang tuanya, namun setelah orang tuanya meninggal mereka pergi merantau ke Bengkulu tempatnya dikampung cina, mereka tinggal di Bengkulu sampai ajal menjemput keduanya.

1)      Psikologi Pengarang

a.      Riwayat Hidup Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Dinamai Takdir karena jari tangannya hanya ada 4. Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara sementara ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru.
Mula-mula STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bengkulu (1915-1921) kemudian melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (1921-1925) dan Hogere Kweekschool, Bandung ( 1925-1928) serta Hoofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian di Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum). Sutan Takdir juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
STA merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Ia termasuk pengarang yang sangat produktif. Karya-karyanya di bidang bahasa, sastra, kebudayaan, filsafat, pendidikan, dan seni menjadi epitaf yang akan selalu dibaca sebagai harta karun pemikir negeri ini.
      b.   Pemikiran STA Tentang Novel Tak Putus Dirundung Malang
            Dalam novel Tak Putus Dirundung Malang, diceritakan dua bersaudara, Mansur dan Laminah, yang sepanjang hidupnya selalu mengalami kesulitan dan nasib sial, dan seakan keduanya tak berdaya mengatasi kesialan tersebut. Kesulitan-kesulitan dilukiskan sebagai kondisi-kondisi obyektif yang tidak bisa diatasi oleh keduanya dengan kemauan dan kekuatan sendiri. Novel ini bertentangan dengan keinginan STA karena cenderung memperlemah semangat, membuat orang mengucurkan air mata, tetapi tidak melecut orang untuk berjuang dengan gembira menghadapi dunia.
Juga, ini bukanlah novel yang melukiskan dunia amtenar, tetapi dunia orang-orang kecil yang terlunta-lunta nasibnya, tanpa kesempatan untuk menaiki tangga mobilitas sosial yang menjadi ciri utama dari kehidupan kelas menengah.
c.   Hubungan Tema dengan Pemikiran Penulis
Tema Novel ini menampilkan kehidupan seorang Anak yatim piatu yang tidak pernah henti dilanda kemalangan. Terutama pada tokoh utamanya yang bernama Mansyur dan Laminah. Dalam novel ini begitu sangat bertentangan dengan keinginan STA yang cenderung memperlemah semangat, yang membuat berderai air mata. Oleh karenanya STA mencoba mengemukakan pemikirannya tentang pahitnya kehidupan yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
2)      Psikologi Karya Sastra

a.      Sinopsis Novel Tak Putus Dirundung Malang
Di sebuh dusun Ketahun Hiduplah satu keluarga yang dimana Syahbudin menjadi Presiden Rumah tangganya, Syahbudin mempunyai dua anak, laki-laki dan perempuan yang diberinama Mansyur dan Laminah, pada saat itu Mansyur berumur delapan tahun sedangkan adiknya laminah lebih muda setahun dari Mansyur, Mansyur dan Laminah ditinggal mati oleh ibunya semenjak masih kecil, Semenjak syahbudin ditinggalkan oleh isterinya Syahbudin hidup penuh dengan kesusahan dan kemelaratan, tetapi meraka selalu bersabar dan tabah menjlani liku-likunya hidup ini, kesibukan kesana kemari mencari pekerjaan untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya membuatnya ia lalai akan api kecil yang berada disudut ruangan yang beralaskan kayu, sehingga membakar istana kecilnya dengan cepat, dengan semangatnya yang tersisa tujuh puluh persen dia masim mampu membuat istana kecil dan mungil berlantaikan tanah dan tidur beralaskan tikar.
            Pekerjaan syahbudin hanyalah mencari buah-buahan dan mencari ikan kenegri sebrang, tidak pernah ia meninggalkan anaknya, kemana syahbudin pergi ia selalu membawa kedua anaknya, laminah dan mansyur selalu senang hati bila berada disisi ayahnya, tetapi hasil takcukup untuk memenuhi kebutuhanya dalam waktu seminggu, sehingga syahbudin memutuskan untuk pergi merantau dan meninggalkan dua hartanya, Mansyur dan laminah sungguh sangat sedih dan menangis atas kepergian ayahnya, karena baru sekali ini ia ditinggalkan oleh ayahnya, kedua anak itu sudah dipasrahkan kepada jepisah adik kandung syahbudin yang perempuan.
            Dalam beberapa bulan syahbudin kembali kenegri ketahun tanah kelahirannya, uang yang mereka dambakan kini berganti dengan kecemasan dan ketakutan pada penyakit yang diderita syahbudin, apalah daya ilmu nenek zalekah, dukun termahir dan terkenal itu tidak mampu menghalangi tugas malaikat pencabut nyawa, Lengkap sudah penderitan kedua anak itu tanpa orang tua didunia ini.
            jepisah adik kandung syahbudin sangat menyayangi kedua anak yatim piatu itu, sehingga dengan suka rela jepisahpun mengasuhnya, tinggallah ia berdua dirumahnya, jepisah sudah menganggap kedua anak itu sebagai anak kandungnya kebutuhan sandang panganya kini menjadi tanggung jawabnya.
            Hari demi hari berganti, usia mansyur kini menginjak lima belas tahun, mereka hidup masih ditangan jepisah dan suaminya, lama kelamaan mereka berdua itu menjadi beban bagi suaminya, kasih sayang yang dulu diberikan oleh suaminya kini berganti menjadi kebencian dan penyiksaan, dalam usia yang masih dini mereka dipaksa untuk bekerja yang berat sehingga tulang muda itu tanpa pernah diberi waktu untuk istirahat sedikitpun.
            Di saat itu Madang suaminya jepisah tidak ada dirumah, Marzuki anak jepisah yang masih kecil itu gemar sekali bermain dengan Laminah seperti halnya anak desa lainnya,i Laminah membuatkan mainan untuk Marzuki, mainan itu terbuat dari kulit jeruk dan dengan senang hati marzuki memainkannya, Marzuki berlari-lari kesana kemari sambil membawa mainan buatan Laminah sampai tidak terasa kakinya tergores pisau yang ada disamping Laminah, Marzuki menangis dengan sangat kerasnya darahnya bercucuran dimana-dimana, aliran darah Laminah seakan-akan terhenti karena melihat kejadian itu, rasa takut dan khawatir akan apa yang akan dilakukan oleh Madang nanti, ketika matahari akan terbenam madang pulang kerumahnya dan menanyakan anaknya pada jepisah, syukurlah karena ketakutan itu kini tiada lagi, karena ketika Marzuki tertidur pulas jepisah berbohong pada suaminya bahwa anaknya baru saja kakinya tergores pecahan beling yang berada didekat pohon jeruk, beberapa jam laminah bisa tenang jiwanya, sungguh sangat disayang ketika Marzuki terbangun dari tidurnya Marzuki lekas memanggil ayahnya dan menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada ayahnya, bagaikan petir dimendung keluar suara madang bercampur amarahnya memanggil Jepisah dan Laminah, tanpa banyak kata pukulan yang tidak terelakan terus-menerus mengenai tubuh Jepisah, berganti pada Laminah, punggung yang masih lentur itu dihantam Madang dengan menggunakan sapu sehingga membuat Laminah terjatuh ketanah hingga tak sadarkan diri. Mansyur seharian berada dipantai mencari kaya, tanpa sesuap nasi dan setes air yang masuk diperutnya, seorang kakak tentu merasakan apa yang dirasakan oleh adiknya, begitu juga Mansyur, dengan lekas ia berlari-lari menuju rumah Madang, lebih dari dua ratus langkah terdengar olehnya suara tangis dan jeritan perempuan, Mansyurpun bertambah khawatir akan adiknya, tepat dipunggung laminah pukulan itu terhenti mansyur menarik tangan madang dengan sekuat tenaganya, Laminahpun terjatuh dan tidak sadarkan diri, tanpa pertimbangan Mansyur lansung membawa Laminah untuk meninggalkan rumah yang penuh dengan penyiksaan itu,
            Di suatu tempat yang tidak jauh dari rumah Madang, Mansyurpun menghentikan langkahnya dan meminta tolong, beruntung baginya ada Datuk Halim yang tidak lain adalah tetangganya yang baik hati, lekas Mansyurpun membawa adiknya yang tidak berdaya itu kerumah Datuk Halim, dengan senang hati Datuk Halim dan Andung Seripah menerima mereka, kesehatan Laminah sangat buruk, ketakutan dan kedinginan karena lebatnya air hujan.
            Detik demi detik waktu berputar, Laminahpun tersadar dari pinsannya sambil menangis dan ketakutan akan kekejaman Madang, terlalu banyak kepedihan yang dideritanya, dengan tekat yang bulat kakak beradik itu berniat meninggalkan negri ketahun tanah kelahiranya karena Madang Algojo itu selalu mencarinya, dalam angin malam yang dipenuhi dengan kegelapan Mansyurpun kerumah Madang lewat pintu belakang untuk Mengambil pakaiannya serta meminta izin pada Jepisah untuk pergi kebengkulu, air mata Jepisahpun takterbendung lagi olehnya, Jepisah resah karena dibengkulu tidak ada sanak keluarga, memang berat baginya meninggalkan Jepisah dan tananh kelahirannya, namun apa boleh buat Madang Algojo itu tidak ada henti-hentinya menyiksa kakak beradik itu.
            Matahari terbit dari bagian timur menandakan hari sudah pagi, dihari itu Mansyur dan Laminah melihat Negri ketahun untuk yang terakhir kalinya, Mereka pergi diantar oleh Datuk Halim dengan menggunakan sampan kecil, tidak banyak perbekalan yang mereka bawa hanya sekadar makanan dan pakaiannya yang lusu, berawal kakak beradik  menyelusuri sungai didampingi oleh Datuk Halim, setelah sampai disebuah jalan raya ditinggalkannya mereka oleh Datuk Halim dengan diberikannya pisau kesayangan Datuk Halim kepada Mansyur bertujuan untuk jaga diri, dari situ Laminah dan Mansyur mengembara dari dusun kedusun melewati hutan lebat dan jalan berbatuan yang tajam,
            Matahari mulai terbenam memancarkan cahaya kekuning-kuningan hingga malam menjelang merekapun menginap disebuah beranda orang cina, suasana alam telah terdengar membangunkan impian mereka, persawahan masih tetap ditelusuri dan masuklah mereka kekebun yang amat luas yang tidak pernah ditemui sebelumnya, mereka duduk sebentar merasakan angin dibawah pohon limau, Mamak patik penjaga kebun itu menghampiri mereka, Mamak patik sangat baik hati kepadanya, karena sangat kasihan kepada mereka yang tidak tahu harus kemana lagi akan melangkah, Mamak patik membawa Mansyur dan Laminah kerumahnya untuk sementara waktu, setelah bercakap dengan Mamak patik kakak beradik itu Melanjutkan perjalanannya,
            Langkah demi langkah mereka lalui sampailah mereka dibengkulu, mereka merasa keheran-heranan melihat semua yang ada disekitarnya, anak yatim piatu itu kesana kemari mencari pekerjaan, hinan dan cacian yang mereka dapatkan, hingga mereka tiba disebuah toko roti, disitu Mansyur dan Laminah diterima kerja oleh tokeh yang baik hati itu, pekerjaan baru itu membuat ia lupa akan kemiskinannya selama ini, mereka berdua mendapatkan makan dan tempat tinggal secara gratis, Mansyur bekerja untuk mengantarkan barang pesanan kesana kemari disekitar bengkulu, sedangkan laminah bekerja didapur untuk memasak roti.
            Bulan berganti bulan Laminahpun kini tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan menarik, para bujang pekerja itu sangat suka kepada Laminah tapi tentunya mereka sangat takut kepada kakaknya, setiap hari mereka saling berebut untuk mendapatkan hati laminah, dengan kebaikan dan kasih sayang taklupa hartanya mereka berikan buat gadis idaman itu, dalam beberapa hari ini Laminah merasa takut dan khawatir yang tidak tentu sebabnya, kurang tidur dan sering kali kedinginan seakan ada firasat bahaya yang akan menimpanya seperti mimpi-mimpi ngeri yang selalu menghantuinya.
            Seminggu yang lalu, tokeh menerima sarmin sebagai pekerja baru ditokohnya sarmin adalah mantan kuli kontrak, semua kehidupannya bergantung pada kekuatan tangannya dan bersemboyan “Hari ini buat hari ini, besok dapat kita berfikir, dengan datangnya Sarmin Laminah semakin hari semakin tidak tenang jiwanya, seakan hidupnya penuh marah bahaya dan ketakutan, kesenangan hidupnya yang dikecamnya dalam beberapa hari ini seakan kembali senyap, Mansyur sangat kasihan melihat adiknya yang semakin hari semakin dilanda ketakutan yang amat dalam, mereka berunding dan bersepakat akhir bulan nanti akan pergi meninggalkan toko roti itu, pekerjaan dilakukan seperti biasanya, Mansyur mengantarkan pesanan, dan Laminah kebelakang membersihkan sebaban piring, Sarmin selalu mengikuti Laminah berniat untuk merampas kegadisannya, kemanapun Laminah pergi Sarmin selalu memperhatikannya, disaat Laminah sedang bekerja Sarminpun datang mendekatinya, Laminah sangat takut dengan adanya sarmin disampingnya, dengan secepat kilat Sarmin berusaha menodai gadis itu, hanya jeritan yang keluar dari mulut Laminah dan berusaha untuk lari dari genggaman tangan rakuk itu, para pekerja hanya bisa diam dan tidak berani untuk menolong gadis malang itu karena takut akan kekuatan Sarmin, karena Sarmin orang yang senonoh akhirnya ia tergelincir dan jatuh, kesempatan bagi Laminah untuk melarikan diri dari Sarmin, alangkah mujurnya Laminah kegadisannyapun taksampai direnggutnya, Laminah hanya bisa diam dan menangis dan meratapi peristiwa itu, Mansyur tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya, dan sehingga Laminahpun menceritakan peristiwa itu, tanpa menunggu Lama Mansyur langsung mengambil pisau dengan berniat untuk menghabisinya, mereka saling beradu kekuatan dan bersilat kuda, tidak ada lagi yang bisa menghentikannya kecuali dengan pistol tokeh, karena kesalahan ada dipihak Sarmin maka dikeluarkan dia dari toko itu, meskipun sarmin sudah dikeluarkan dari toko itu, tetapi itu tiadak menghalangi keniatan bagi mereka untuk tetap tinggal.
            Kesana kemari Mansyur mencari pekerjaan, dan pada akhirnya ada sebuah toko milik orang jepang, diterimalah Mansyur ditoko itu, Laminah tinggal dirumah hanya seorang diri, hari-harinya diselimuti dengan kebosanan setiap hari tidak ada kesibukan yang ia kerjakan hanyalah memasak makanan buat kakaknya dan pada akhirnya Laminah mencari kesibukan dengan menjadi buruh cuci pakaian untuk menghilangkan kebosanan itu.
            Hari raya akan tiba tiga hari lagi, Mansyur dituduh mencuri uang ditoko tersebut dan dimasukanlah ia kedalam penjara, Laminah hanya bisa menangis akan peristiwa itu hingga lupa makan dan minum, peristiwa itu sampai terdengar ketelinga Malik dan Darwis teman kerja Laminah waktu ditoko roti, tanpa seorang kakak Laminah tinggal, kesempatan bagi Darwis untuk merenggut kegadisannya.
Di saat malam menjelang Darwis datang kerumah Laminah dengan membawa buah-buahan, sama sekali tidak pernah terpikir oleh Laminah kalau ada niat buruk dibalik semua kebaikannya, disaat menjelang tidur Malik mengetahui rencana Darwis lekas ia menghampiri rumah Laminah, alangkah terkejutnya Malik ketika melihat rumah Laminah takberpenghuni, kesana kemari Malik mencari gadis malang itu sampai akhirnya Malik menemukannya disebuah bibirpantai, Laminah menceburkan diri kedalam laut dan dengan seketika hilang taktahu keberadaanya.
Mansyur telah bebas dari penjara karena tidak adanya bukti yang kuat, setelah lima hari terbebasnya Mansyur dari penjara alangkah terkejutnya Mansyur ketika melihat jasad adiknya yang sudah membusuk, hilanglah sudah semangat hidup dan Mansyur memutuskan untuk pergi berlayar, bertahun-tahun terkapung-kapung diatas air namun bayang-bayang adiknya tidak juga hilang, hari-harinya penuh dengan lamunan, Mansyurpun mengeluh dan berkata “Ya, Allah, ya tuhanku, apabilakah engkau pulangkan aku keasalku? Mengapakah engkau azab aku lama-lama dineraka hidup ini?”, disaat malam tiba mansyur naik keatas kapal untuk memasang layar kapal yang ditumpanginya, Mansyurpun terjatuh kedalam lautan dan jasadnya tidak ditemukan, usai sudah penderitaan Mereka dalam hidupnya, Mansyurpun menyusul adiknya dan orang tuanya kenegeri yang baka.
b.      Analisis Terhadap Penokohan (watak)

No

Nama Tokoh

Penokohan
  1
Mansur
Antagonis
2
Laminah
Antagonis
3
Syahbudin
Antagonis
4
Jepisah
Antagonis
5
Madang
Antagonis
Protagonois
6
Marzuki
Protagonois
7
Zalekah
Antagonis
8
Datuk Halim
Antagonis
9
Andung Seripah
Antagonis
10
Tokeh
Antagonis
11
Malik
Antagonis
12
Darwis
Antagonis
Protagonois
13
Sarmin
Protagonois

Kutipan Penokohan
1.      Mansur
Adalah Saudara Laminah anak dari Syahbudin, Mansur memiliki usia lebih tua dari Laminah, ia mempunyai watak pantang menyerah, tegas, baik, sabar, penyayang dan selalu bersukur dengan apa yang ia dapatkan.
Kutipan novel: “Laminah! Bagaimana pikiranmu, kalau kita mencari pekerjaan ditempat lain, sebabya engkau disini kulihat bertambah layu. Kalau benar terasa olehmu tiada senang lagi, apakah yang kita tunggu disini. Dari hal Rezeki itu, selagi Allah masih kasihan kepada kita, kemana kita pergi takan terlantar. Tambah pula uang simpanan kita yang dua puluh rupiah itu, dapatlah buat menolong kita sementara. Ya, semuanya makan gaji disini senang; makan dan tempat tidur kita dapat dan induk semang kita orang yang budiman. Tetapi apa gunanya semua itu, kalau tidak sesuai dengan perasaan kita. Bukan kah lebih baik kita menjawat pekerjaan yang lebih berat dan lebih kurang bayaranya. asal badan kita sehat dan hati kita senang. Kesehatan badan dan kesenangan hati itulah harta-benda yang semahal-mahalnya, tak dapat dibayar dengan uang berapa sekalipun. Jadi dik, Katakanlah, boleh kita bertenggang pula. Nanti kucoba mencari pekerjaan yang terbuka.” (114-115)
2.      Laminah
Adik satu-satunya mansuryang amat disayangin mansur, Laminah memiliki watak baik, sabar, penurut, lemah, pendiam.
Kutipan novel: Laminah terkejut melihat saudaranya itu. Sebagai kilat ia duduk dan dipeluknya, sambil ia berkata: “Hendak mengapakah kakak sekarang? Duduklah dahulu, boleh Minah ceritakan semuanya. Apakah gunanya kakak keluarkan sewah itu. Tidak! Kakak tidak boleh melawan orang tak berhati dan tak berjantung itu. Tidakah kakak kasihan pada Minah? Duduklah! Jangan pedulikan jahanam itu.”
3.      Syahbudin
Anak pertama dari tiga bersaudara, dan ia juga Ayah dari Mansur dan Laminah, syahbudin memiliki watak baik, sabar, penyayang, pantang menyerah, tawakal, dan selalu bersyukur dengan apa yang didapatkan meskipun kemiskinan selalu menyertainya.
Kutipan novel: Meskipun kemiskinan dan kesengsaraan tak henti-henti menimpanya namun syahbudin selalu bersabar dan tawakal, ”Syahbudin menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, tidak menaruh dengki dan khianat, sebab `ia tahu bahwa sekalianya itu kehendak Allah yang maha kuasa”. (4)
4.      Jepisah
Adiknya sayahbudin yang bungsu, jepisah sudah berkeluarga dan sudah mempunyai anak, ia mempunyai watak penyayang, baik hati, dan penyabar.
Kutipan novel: ketika Madang Berubah menjadi jahat dan kejam. Jepisah melihat pekerti suaminya berhati sedih, sampai kesanubarinya nasib yang malang, kemelaratan orang yang terlantar. (36)
Ketika Syahbudin Meninggal ia rela Memelihara Mansur dan Laminah sebagai mana yang telah dipesankan oleh Syahbudin sebelum meninggal. (27)
5.      Madang
Suami dari jepisah atau ayah dari marzuki, ia mempunyai watak pemarah dan kejam.
Kutipan novel:“Pergilah dari Rumahku!” jangan jejak lagi Rumahku ini, jahanam, orang yang tak tahu membalas guna, tak kurelakan semua hakku yang kau sangkahkan. Keair disambar buaya, kerimba diterkam harimaulah engkau berdua beradik!” (51)
6.      Marzuki
Anak dari pasangan Jepisah dan Madang, dia berumur empat tahun dan mempunyai watak pengadu, dan tidak tahu balas budi.
Kutipan novel: Marzuki dibuatkan Mainan darikulit jeruk oleh laminah, ia menerima dengan gembira memainkanya, sebentar ia melompat-lompat, berlari-lari sambil berteriak sampai tak sadar kakinya tergores pisau yang ada disamping laminah.
Ia menyalahkan laminah dan berniat mengadukanya kepada ayahnya.
“Engkaulah melakukan kakiku tadi, jaga engkau, Nanti kuadukan pada ayahku, Menjauhlah kau jangan dekat-dekat padaku” (46)
7.      Zalekah
Dukun/Tabib yang sangat terkenal didusun ketahun, ia mempunyai watak, baik, suka menolong, dan selalu merasa iba.
Kutipan novel: dia merasa ikhlas menolong Syahbudin dan tak apa bila tidak dikasih apapun jua “Ah tak mengapa! Meskipun tak diberi suatu apapun Syahbudin akan ku obati juga.” (24)
8.      Datuk Halim
Tetangga dari jepisah dan ia masih mempunyai ikatan keluarga dengan Mansyur dan Laminah, ia mempunyai watak, baik dan suka menolong.
Kutipan novel: “Mansur, engkau kini telah besar, segala segala yang engkau kerjakan hendaknya engkau kaji dalam-dalam dahulu, dapat kah engkau ke Bengkulu nanti mencarikan nafkah adikmu? Itu harus engkau pikirkan. Ia perempuan! Untuk engkau aku tiada cemas; Laki-laki dimana sekalipun tiada akan mati kelaparan. Tetapi lain halnya dengan perempuan, ia lemah dan banyak pantanganya. Engkau jangan pula sampai jadi salah paham. Aku bukan bermaksud hendak menahanmu dan jauh pula dari hendak mengusirmu. Kalau aku memberi engkau petuah ialah semata-mata oleh sebab aku kasihan melihat nasib engkau dua beradik. Dari pada engkau sengsara dinegri orang, pada pikiranku, lebih baiklah engkau tinggal dengan kami disini. Dari hal makanan, selama kami masih diberituhan Tuhan rezeki, Janganlah engkau susah. Makan pula engkau berdua.” (63-64)
9.      Andung Seripah
Istri dari datuk halim, ia mempunyai watak yang sama dengan Suaminya.
Kutipan Novel: Ketika Laminah pingsan tak sadarkan diri mansur membawanya kerumah Datuk halim, dan Andung seripah Menerima kehadiranya karena merasa sangat iba kepada anak yatim piatu itu.
“Engkau tunggulah disini sekejap, boleh aku mengambil air dingin untuk percik muka Laminah” (52)
10.  Tokeh
Orang cina, sekaligus pemilik tokoh roti, ia mempunyai watak, baik budiman, dan suka menolong.
Kutipan novel: “Aku selalu berbesar hati melihat engkau berdua bekerja disini dan maksudku tiada berapa lama lagi akan menaikan gajimu. Tetapi, sudahlah! Kebesaran hati itu tidak ada bandinganya, sebab itu tak boleh aku menahan engkau berdua beradik ditokoku ini, kalau engkau berdua dalam kesukaran, yang tak sekali-kali kuharap, setiap waktu boleh engkau datang kemari minta pertolongan padaku.” (135)
11.  Malik
Teman kerja Laminah ditoko roti, ia mempunyai watak baik, suka menolong, dan penyayang.
Kutipan novel: Malik khawatir apa yang akan dilakukan Darwis, dengan menggunakan langkah seribu Malik langsung menuju kerumah Laminah untuk menengoknya.
“O, jangan-jangan ia sekarang pergi kerumah laminah akan melangsungkan maksudnya yang rendah”, “tidak-tidak, itu tidak boleh dibiarkan”, (158)
12.  Darwis
Teman Malik waktu kecil, dan teman Laminah waktu kerja ditoko roti, ia mempunyai watak, pemberani dan Licik
Kutipan novel: darwis pada saat itu tiada putus-putusnya mengamat-ngamati muka gadis itu. Bersukacita bahwa Laminah percaya kepadanya. “Ha! Sekali ini tiada lepas engkau dari jaringku.” Tertawa ia dalam hatinya... (153)

13.  Sarmin
Mantan kuli kontrak yang dipekerjakan oleh tokeh ditoko roti, Sarmin memiliki watak, Nafsu yang rendah, tak pernah jera dan tidak pernah berfikir panjang dengan apa yang dilakukanya.
“Hari ini untuk hari ini, besok dapat kita pikir” (112)
Ketika Laminah bekerja Sarmin menatap Laminah tiada henti-hentinya. “Birahinya tiada dapat ditahanya lagi dan iapun mendekati Laminah, seraya berkata lemah-lembut suaranya mendekati Laminah: “Alangkah lambatnya engkau bekerja ini! Mari boleh kutolong, supaya lekas sedikit.” (120)
c.   Analisis Nilai-nilai psikologis (konflik batin antar tokoh)
1)      Syahbudin Hampir putus asa akan Nasibnya.
Sejak percerian dengan Istrinya berlipat ganda terasa olehnya berat beaban hidup mengimpit dirinya, sehingga kadang-kadang ia hampir-hampir putus asa dan meminta kepada tuhan, supaya ia dapat menuruti istrinya kenegri yang baka. (3)
2)      Kepedulian Mansur pada Syahbudin.
Sekonyong-konyong Mansur berhenti menarik padatianya dan berkata “Ayah, besok tetap banyak kita dapat durian; dari tadi tak henti-hentinya bunyinya jatuh, kalau angin tak sekuat ini aku ingin turun untuk memungutnya” (4)
3)      Keterkejutan Syahbudin Pada Anaknya.
Mendengar kata anaknya  itu terkejut Syahbudin dari menungnya, seraya menjawab dengan senyum yang dibuatnya: “Bangunlah engkau besok pagi-pagi, supaya dapat kita lekas membawanya keketahun dan meminta kepada tuhan semesta alam moga-moga batang air tada deras, sekarang hari telah jauh malam; lekaslah engkau berdua tidur, boleh besok bangun pagi-pagi, simpanlah gelondong-glondong itu” (4-5)
4)      Keberuntungan.
Sekonyong-konyong Laminah, yang dari tadi tak putus-putus memandangkan matanya kegedung itu, berteriak: “Lihatlah ayah! Ditangga turun keair itu orang melambai-lambai kita! Orang itu orang cina rupanya! Barangkali telah tampak durian kita ini olehnya; Baiklah kita lekaskan rakit sedikit”
Belum habis lagi perkataan adiknya, Mansur berkata: “Nah, itu dia mobil diantara gedung-gedung itu!”. Muka syahbudin bercahaya-cahaya mendengarkan perkatan anaknya sambil menyahut; “Langkah kanan sekali ini; tak perlu lagi kita besok pagi menjual durian kita.” (9)
5)      Kebahagiaan syahbudin ketika ada orang yang Melelang daganganya.
Orang cina itu membeli durian milik Syahbudin. “sudah aku tidak mau pusing lagi biarlah aku bayar lima rupiah, Lekaslah angkat durian itu kedalam mubilku.”
Dengan Sukacita turunlah Syahbudin kerakit akan membongkar durian. Oleh sebab orang cina itu hendak lekas. (10)
6)      Kesabaran Syahbudin
Tetapi muka yang tadi bercahaya-cahaya kini menjadi muram, sebab sekarang ia telah tahu, bahwa ia telah tertipu; durianya lebih dari empat ratus. Akan meminta harga yang telah dijanjikan tadi, ia tak berani. Sebab ia takut kalau orang cina itu marah dan mengatakan ia mungkir janji. (11)
7)      Pertanyaan Mansur yang membuat ayahnya marah.
Mansur bertanya kepada ayahnya. “Ayah ! Berapa dibeli orang cina itu durian kita?”
“Ah, jangan kau tanya lagi !” Kita telah dikecohnya. Ditaksirkan durian kita dua ratus, aku percaya sehingga aku jual sama sekali lima rupiah. Tetapi tadi aku bilang lebih empat ratus. Kita tertipu oleh jahanam itu dua ratus buah.”  (12)
8)      Nafsu yang tertahan
Mansur diam tiada mengeluarkan sepatah juapun, tetapi pada matanya dapat dilihat, bahwa darahnya mendidih. Laminah, anak yang penyabar itu, mendengar kata ayahnya, dan memalingkan muka. Rupanya payah ia menahan ibanya. (12)
9)      Kepergian Syahbudin Yang membuat Hati Laminah dan Mansur sedih.
Karena penghasilan yang didapatkan Syahbudin tidak cukup untuk keseharianya akhirnya ia pamit kepada anaknya untuk pergi kembali kerimba durian. “sebentar lagi aku hendak mudik kembali kerimba durian menumpang sampan orang hulu, yang hendak pulang. Jadi sekali ini aku tidak dapat membawa kamu berdua. Sekali ini tinggalah engkau berdua, boleh aku berpesan kepada uncumu.” Pada muka Mansur dan Laminah kelihatan bahwa perkataan bapaknya tidak meriangkan hatinya. (16).
10)  Tekad bulat Syahbudin untuk meninggalkan Anaknya.
Melihat kedua anaknya itu rasanya menyesallah Syahbudin meninggalkanya, tetapi dikeraskan hatinya dan dipikirkannya. Bahwa ia meninggalkan mereka itu hanya dengan maksud akan mencari nafkah untuk mereka itu juga. (16)
11)  Kesedihan Mansur dan Laminah ketika melihat ayahnya meninggalkanya.
Mansur dan Laminah hanya bisa berdiri ditepian sungai sambil melihat ayanya yang semakin lama semakin menghilang dari pandanganya, Mansur menggenggam tangan adiknya seraya berkata perlahan-lahan; “Dik. Marilah kita pulang kerumah uncu. Apalah gunanya kita lama-lama berdiri disini.” Laminah tak menjawab seperti orang tak bersemangat diturutnya saudaranya, hatinya penuh waswas dan wasangka. (17)
12)  Kesedihan hati jepisah melihat Syahbudin Sakit
Aduhai alngkah pucat rupanya; kalau disayat bibirnya barangkali tak berdarah, badanya lemah, hampir tak berdaya lagi. Semakin hari sakitnya semakin bertambah-tambah, meskipun kepalanya tiap pagi dan petang dibasahi dengan air sidingin dan sitawar yang telah dimantrakan.
Jepisah tak tertahankan lagi hatinya melihat saudaranya itu. Oleh sebab itu mansur disuruhkan memanggil dukun, nenek Zalekah. Dalam berlari-lari itu tak sekejap jua pikiran Mansur berpisah dari ayahnya. Harapan dan Cemas berganti-ganti, dimukanya terbayanglah percerian dengan ayahnya yang dicintainya. Tetapi dalam hatinya hal itu  mustahil, tak termakan oleh akal, masa ayahnya yang sekuat dan sekukuh itu dapat dikalahkan oleh penyakit. (19)
13)  Kepedulian Nenek Zalekah.
“Air ini berikan padanya tiap-tiap hendak minum, kalau dalam empat atau lima hari ini belum agak sembuh rupanya Syahbudin, hendaklah suruh lagi orang memanggilku, sekarang aku mau pulang, sebab dirumah banyak kerjaku terbengkalai.”(24)
14)  Keikhlasan Nenek Zalekah.
“Ah tak mengapa! Meskipun tak diberi suatu apapun Syahbudin akan ku obati juga.” (24)
15)  Nasib Mansur dan Laminah.
Aduh Nasib yang ganas, yang buas, yang tak menaruh iba-kasihan! Alangkah sampai hatimu merebut apung-apung dari orang yang hendak menyebrang lautan yang penuh gelora, memadamkan suluh orang yang hendak menempuh rimba yang lebat dalam gelap-gulita!. Aduh Nasib yang kejam, mengapakah engkau merendahkan yang telah rendah, mematahkan yang telah terkulai? (26)
      d.   Perubahan Jiwa Tokoh
1)      Madang
Mula-mula setelah kepergian Syahbudin, Madang suaminya Jepisah, memelihara Mansur dan jepisah dengan penuh kasih sayang, pendeknya kedua anak itu dijaganya seperti anak kandungnya sendiri, uangnya tak ditahan-tahan; belanja dan pakaian kedua anak itu tak pernah kurang, tetapi secara perlahan semuanya berubah, kedua anak itu Lama-kelaman dipandanya sebagai orang yang memberati bebannya., tiap-tiap hari berubah-ubah menjadi keengganan, menjadi abai, kesudahannya menjadi benci.
Dahulu mansur dan laminah tidak pernah disuruhnya mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, sekarang tak dapat Madang dan Laminah barang sekejap duduk bergurau. Dalam hati madang berkata “Apa gunanya aku memberi makan, kalau aku tak dapat keuntungan dari mereka itu.” (36)
2)      Darwis
Darwis merasa senang dan girang ketika mengetahui Mansur ditahan polisi, ia mempunayi kesempatan emas untuk mengganggu Laminah, “Kalau begitu Laminah ada disana sekarang?” ujar darwis dengan cepat.
“Mengapa engkau tergesa-gesa serupa itu” ujar malik,
“kata siapa pula aku tiada girang” ujar darwis.
“Sangkamu agaknya uangku untuk memblanjai laminah dahulu itu, aku biarkan begitu saja?, kalau begitu salah sekali pikiranmu. (146)
3)   Psikologi Pembaca
            Novel ini mengandung pesan, seberapa pahit dan getirnya kehidupan, hendaknya  kita tetap sabar dalam mengarunginya. Membaca novel ini akan membawakita seolah-olah merasakan betapa menderitanya kedua anak yatim piatu tersebut. Kesengsaraan demi kesengsaraan, kepedihan demi kepedihan, cobaan demi cobaan, tak putus dirundung malang.

Comments

Popular Posts